Kalangan Milenial yang Menggemari Konsep Co-Living di Tengah Lesunya Sektor Properti

JAKARTA - Pengamat memperkirakan sektor properti sedang dalam kondisi lesu. Namun, ada konsep yang sedang digemari kalangan milenial, yakni konsep co-living atau persewaan properti.

Konsep tersebut mulai digemari kaum milenial sebagai alternatif tempat hunian. Sehingga, perlu kreatifitas pelaku industri untuk menyediakan hunian tersebut, termasuk rumah kos.

Department Head Research and Consultancy PT Savills Consultants Indonesia Anton Sitorus mengatakan, agar pertumbuhan sektor properti menjadi lebih maksimal, harus didukung oleh kreativitas pengembang dalam mengemas produk yang menarik, terutama mengenai harga.

“Untuk bisa tumbuh pengembangnya harus kreatif dalam membuat produk dan harga terjangkau. Jika itu terpenuhi, saya yakin market meningkat,” katanya.

Menurutnya, salah satu konsep yang saat ini tengah digemari adalah co-living. Namun kata dia, jika konsep co-living ditawarkan dengan harga tinggi, pembelinya tentu juga akan terbatas. “Pasar co-living seperti properti lain. Pasarnya ada, asalkan harga cocok,” katanya.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda. Menurutnya, saat ini harga properti sudah sangat tinggi sehingga kesulitan untuk dijual.

“Namun masih ada juga investor yang membeli, dengan harapan harganya akan terus naik. Padahal, pasar properti sama seperti ekonomi mempunyai siklus pasar, ini sering kali diabaikan oleh investor," katanya.

Itu sebabnya, kata dia, tak heran jika saat ini banyak masyarakat yang lebih memilih untuk menyewa dibandingkan untuk membeli, terutama di kota-kota besar.

“Hasil survei kami sekitar 47,4 persen pilih tinggal di kos-kosan, kemudian sebanyak 47,1 persen berkeinginan untuk tinggal di apartemen, sedangkan sisanya memilih tinggal di kediaman keluarga atau saudara," katanya.

Dengan penghasilan rata-rata kaum milenial berkisar Rp6 juta-Rp7 juta per bulan artinya mereka hanya mampu membeli properti dengan cicilan Rp2 juta-Rp2,5 juta per bulan atau seharga Rp200 juta-300 jutaan. Dengan rentang harga tersebut sulit untuk mereka mendapatkan properti di Jakarta.

Berdasarkan riset IPW, saat ini ada sebanyak 39,9 persen kaum milenial tinggal di kos atau apartemen dengan besaran sewa di bawah Rp 2 juta per bulan. Lalu sebanyak 38,5 persen menyewa dengan harga Rp 2-3 juta per bulan dan 21,6 persen menyewa dengan harga di atas Rp3 juta per bulan.

Besarnya pasar kosan di kota-kota besar ini diakui oleh salah satu penyedia hunian, PT Hoppor International. Perusahaan yang dikenal dengan nama Kamar Keluarga itu mengatakan bahwa setiap tahun tren penyewa kosan terus tumbuh.

Selama dua tahun berdiri, Kamar Keluarga sendiri telah memiliki 2.041 kamar yang tersebar di 75 lokasi di Jabodetabek dan Bandung. “Kami akan terus melihat setiap potensi pengembangan bisnis kosan. Hal ini untuk menjawab kebutuhan pasar,” ujar CEO Kamar Keluarga Charles Kwok.

Untuk mendukung ekspansi tersebut, Kamar Keluarga tahun ini akan melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dana hasil IPO tersebut sebagian besar akan digunakan untuk menambah jaringan di beberapa daerah.

Selain mendirikan kos sendiri, Kamar Keluarga juga membuka peluang kepada para pemilik aset berupa tanah atau properti menganggur untuk dijadikan produktif dan menghasilkan passive income.

"Sistemnya bagi hasil, Kamar Keluarga akan menjadikan lahan atau bangunan tidak produktif menjadi kamar kos atau hunian co-living. Nantinya pemilik akan mendapat uang sewa jangka panjang 10 tahun hingga 25 tahun," kata Charles.