Karbon Bekas Pembangkit Listrik Kini Bisa Dijual, Begini mekanismenya
JAKARTA - Sebagai wujud komitmen dalam mendukung pencapaian Net Zero Emission dan menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara resmi meluncurkan Perdagangan Karbon Subsektor Tenaga Listrik.
Kementerian ESDM melalui video yang diputar pada saat peresmian menjelaskan, perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui jual beli unit karbon dan dilakukan melalui menanisme perdagangan emisi dan offset emisi rumah kaca.
Diketahui Kementerian ESDM sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM no. 16 tahun 2022 tentang tata cara penyelenggaraan nilai ekonomi karbon subsektor pembangkit tenaga listrik. Regulasi tersebut akan menjadi acuan dalam penyelenggaraan ekonomi karbon (NEK) termasuk kegiatan perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik.
Dalam video tersebut menjelaskan, unit pembangkit yang menghasilkan emisi melebihi dari persetujuan teknis batas atas emisin pelaku usaha(PTBAE-PU) yang diberikan maka diharuskan membeli emisi dari unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU dan atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE GRK).
Nantinya sisa surplus PTBAE-PU dapat diperdagangkan pada tahun berikutnya paling lama dua tahun terhitung sejak akhir periode perdagangan karbon dan tidak melebihi fase perdagangan karbon.
Untuk melaksanakan perdagangan karbon maka Kementerian ESDM telah menyusun peta jalan perdaganagn karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang di dalamnya terdapat rencana implemetasi dan strategi perdagangan karbon di subsektor tenagalistrik sampai tahun 2030.
Pelaksanaan perdagangan karbon pada suksektor tenagalistrik akan dilaksanakan apda 3 fase yaitu fase 1 pada 2023 sampai 2024, Fase 2 pada 2025 sampai 2027 dan Fase 3 pada 2027 sampai 2030.
Sedangkan fase setelah 2030 akan dilaksanakan sesuai dengan targetpengendalian emisi di gas rumah kaca sektor energi. Sebagai realisasi Fase I, perdagangan karbon pada 2023 ini akan dilasanakan pada unit pembangkit PLTU batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW dan pada 2024 akan berlaku juga pada PLTU batu bara dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 25 MW.
Dengan pelaksanaan perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik, target emisi GRK dapat rercapai dan pelaku usaha dapat turut berperan aktif pada pengendalian emsi GRK sehingga tercipta kondisi iklim yang bersahabat dan ramah lingkungan.
Baca juga:
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu mengatakan, pada tahun 2023 ini akan dilaksanakan perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik dalam tahap mandatory. Perdagangan karbon ini pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada unit pembangkit PLTU batubara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.
"Untuk mendukung pelaksanaan perdagangan karbon tersebut, Kementerian ESDM telah menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE)," ujar Jisman dalam sambutannya, Rabu 22 Februari.
Lebih lanjut Jisman menyampaikan bahwa pada tahun 2023 Kementerian ESDM telah menetapkan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) kepada 99 unit PLTU Batubara (42 perusahaan) yang akan menjadi peserta perdagangan karbon dengan total kapasitas terpasang 33.569 MW.