Ketua Komisi II DPR Pertanyakan Alasan Cak Imin Usulkan Peniadaan Jabatan Gubernur: Tidak Mudah Ganti UU

JAKARTA - Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mempertanyakan latar belakang Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusulkan peniadaan atau penghapusan jabatan gubernur.

 

Pasalnya, usulan tersebut bisa merusak struktur pemerintahan dan tata negara yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, di mana telah berjalan puluhan tahun di Indonesia. 

 

"Menurut saya, kalau tiba-tiba kita menghilangkan satu jabatan yang sangat strategis untuk menjalankan pemerintahan yang selama ini sudah berjalan berpuluh-puluh tahun, itu harus melalui kajian yang cukup mendalam," ujar Doli di kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Rabu, 1 Februari. 

Doli menjelaskan, struktur pemerintahan di Indonesia sudah disusun sedemikian rupa melalui UUD 1945. Sehingga, jika tiba-tiba ada perubahan struktur yang mengambil posisi sangat strategis seperti gubernur, maka butuh banyak upaya yang harus dilakukan dan tidak mudah.

 

"Jadi memperpanjang masa jabatan kepala desa saja tidak mudah, harus mengganti UU, apalagi mau meniadakan gubernur. Itu prosedurnya saja juga tidak mudah," tegas Doli. 

Pimpinan komisi yang mengurusi pemerintahan itu menuturkan, usulan Cak Imin terkait peniadaan jabatan gubernur tidak ada referensinya. Doli mengaku pihaknya tak mempermasalahkan gagasan Cak Imin, namun jika serius ingin diwujudkan maka kajiannya harus dilakukan secara mendalam dalam waktu yang cukup lama. 

"Ya belum ada (referensinya). Makanya, sebagai sebuah usulan yang biasa saja ya, oke saja. Tetapi kalau memang itu betul-betul dilakukan, perlu kajian yang sangat, sangat, sangat mendalam. Karena kita menghilangkan satu rentang kendali pemerintahan yang selama ini sudah berjalan adanya," terang Doli  

 

Adapun alasan peniadaan jabatan tersebut demi efisiensi anggaran, Doli menyampaikan, pada akhirnya harus ada perombakan di struktur tata negara Indonesia. Sebab selama ini, menurutnya, fungsi gubernur di pemerintahan sangat signifikan sebagai mediator antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 

"Jadi kita harus mengkaji soal satu struktur tata negara kita pada akhirnya. Kalau soal untuk membuat efisiensi atau macam-macam kan, itu ada ukurannya ya. Apa yang membuat selama ini kita menilai tidak efisien gubernur? Setahu saya, selama ini fungsi gubernur berjalan dengan baik, dia kan kepanjangan pemerintah pusat di daerah," kata Doli. 

"Kalau gubernur tidak ada, apa yang menjadi media atau institusi yang bisa mengkoordinasikan semua pembangunan atau jalannya pemerintahan di daerah? Nanti bisa lag kalau tiba-tiba dicabut itu gubernur," tambahnya.  

 

Termasuk mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD. Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar itu heran, apa yang mendasari gubernur harus dipilih kembali melalui DPRD. Padahal, selama ini pemilihan gubernur, bupati dan walikota lewat pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak bermasalah. 

 

"Kita harus tahu dulu sebabnya, apa latar belakangnya? Apa misalnya dianggap bahwa kinerja gubernur selama ini apa tidak baik? apakah pilgub saat ini dianggap cukup mahal tidak proposional dengan kinerja yang diharapkan? Nah, ini kan kita harus cari tahu dulu, backgroundnya apa. Baru kemudian kita kaji," jelas Doli. 

"Kalau misalnya tadi, salah satu indikasinya adalah bahwa pilgub terlalu mahal, ya bisa juga ada yang bilang memang demokrasi itu mahal. Tetapi dengan demokrasi yang mahal apakah itu membuat jalannya pemerintahan efektif? Nah, itu perlu dikaji lagi," sambungnya. 

Sejauh ini, menurut Doli, struktur pemerintahan Indonesia mulai dari tingkat pusat sampai di tingkat kabupaten/kota bahkan tingkat kecamatan atau desa, sudah berjalan dengan baik.

"Kalau misalnya kita mau merubah, apalagi yang se-ekstrem mencabut ketidakadaan gubernur semacam itu, harus kita lakukan kajian yang mendalam. Dan perubahannya kan tidak serta merta, ya. Ini kan harus ada UU juga. Ini kan sama dengan usulan memperpanjang masa kepala desa. Itu aja tidak mudah apalagi meniadakan gubernur," kata Doli.