Bisa Bikin Anak Trauma, Orang Tua Harus Meningkatkan Pengawasan untuk Cegah Penculikan

JAKARTA - Isu penculikan anak meningkat akhir-akhir ini. Psikolog anak dan remaja dari Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan, anak korban penculikan sangat rawan mengalami trauma, mengingat peristiwa tersebut merupakan pengalaman yang dapat mengancam keselamatan jiwanya.

"Bisa saja anak mengalami trauma karena penculikan merupakan pengalaman yang membawa perubahan drastis dalam hidup anak dan bisa mengancam jiwanya," kata Vera dikutip dari ANTARA, Rabu, 1 Maret.

Menurutnya, saat menjadi korban penculikan, anak tentu akan merasa takut, cemas tidak bisa kembali kepada orangtuanya, dan bingung dengan apa yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan diri.

Untuk itu, Vera mengatakan, ketika anak korban penculikan kembali kepada orangtuanya, maka ia seharusnya diperiksa secara menyeluruh untuk mengetahui pendampingan apa saja yang perlu dilakukan.

"Yang jelas anak butuh pendampingan untuk menghilangkan rasa takut dan mengembalikan kepercayaannya pada lingkungan agar dia dapat kembali ke rutinitasnya sebagai anak," ujarnya.

Senada dengan Vera, psikolog dari Universitas Indonesia sekaligus parenting coach Irma Gustiana mengatakan anak korban penculikan akan merasakan trauma yang membuat dia merasa cemas dan tidak aman, sehingga dapat mengganggu kegiatan sehari-harinya baik di sekolah, di rumah, maupun di tempat lainnya.

"Trauma itu bisa terlihat secara langsung atau bisa menjadi respon tunda. Jadi kalau secara langsung itu bisa kita lihat dia menangis, terus kelihatan wajahnya ketakutan, kemudian dia bengong, dan terlihat bingung. Itu adalah bentuk manifestasi dari trauma akibat pengalaman penculikan tadi," imbuh Irma.

Ia kemudian memberi saran bahwa ketika anak kembali bertemu orangtuanya pasca penculikan, hal pertama harus dilakukan orangtua adalah mengecek kondisi fisik anak untuk memastikan apakah ada luka atau tanda-tanda lain yang mencurigakan.

Kemudian, ia melanjutkan, penuhi kebutuhan makanan dan minuman anak, serta hindari bertanya mengenai peristiwa penculikan atau bahkan menyalahkan anak.

"Hindari menanyakan kejadiannya seperti apa atau menyalahkan anak. Itu akan menjadi trigger dan membuat anak menjadi merasa bersalah atau semakin ketakutan," katanya.

Cara Mencegah Penculikan Anak

Irma Gustiana juga mengingatkan pentingnya meningkatkan pengawasan orangtua untuk mencegah penculikan anak, sebab keamanan dan keselamatan anak merupakan tanggung jawab orangtua.

"Yang pasti pengawasan itu penting. Orangtua harus bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan anak," kata Irma.

Irma mengatakan, beberapa aksi penculikan belakangan didasari oleh maraknya penjualan organ tubuh demi mendapatkan uang. Menurutnya, lemahnya pengawasan orangtua dapat menjadi salah satu faktor yang memudahkan penculik untuk melakukan kejahatan tersebut, mengingat anak merupakan kelompok paling rentan yang belum bisa melindungi dirinya sendiri.

"Ketika anak tidak dalam pengawasan orangtua, maka akan memudahkan bagi para penculik itu untuk melakukan aksinya," imbuhnya.

Selain memberikan pengawasan, Irma mengatakan orangtua juga perlu mengajarkan anak mengenai cara memberikan respons terhadap orang-orang asing yang ada di sekitar mereka.

Kemudian, ajarkan cara menolak ajakan orang lain yang tidak dikenal. Pastikan juga anak mampu menyampaikan isi pikirannya. Hal itu, menurut Irma, dapat dilatih salah satunya dengan bermain roleplay.

"Jadi ketika ada sesuatu yang terjadi, anak mampu menyampaikan kecemasan atau ketakutannya, misalnya ketika di keramaian ada yang bertingkah laku aneh atau mencurigakan," ujar Irma.

"Sampaikan juga pada anak jangan berada di tempat yang sepi yang tidak ada orang lain. Jadi harus berkumpul dengan teman-temannya atau mencari orang dewasa," imbuhnya.

Irma juga mengatakan penting bagi orangtua untuk mengenal tetangga di sekitar rumah, sebab menurutnya kasus penculikan juga sangat mungkin terjadi di daerah perumahan. Pastikan juga anak tidak menggunakan aksesoris berlebihan yang mampu mengundang penculik.

"Misalnya perhiasan berlebihan atau menggunakan smartphone dengan teknologi canggih dan harga yang mahal. Itu bisa menjadi incaran penculik untuk memanfaatkan kelemahan si anak," katanya.

Di samping itu, Irma mengatakan mengajari anak bela diri dapat menjadi salah satu alternatif untuk mencegah penculikan. Meski demikian, perlu diingat bahwa anak tetaplah merupakan kelompok yang tidak berdaya, apalagi jika penculikan dilakukan oleh beberapa orang dewasa.

Sependapat dengan Irma, psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener mengatakan bahwa meskipun anak memiliki kemampuan bela diri, pengawasan orangtua tetap jadi yang utama.

"Sekalipun anak bisa bela diri, kekuatan fisiknya masih kalah dibanding orang dewasa yang jadi penculiknya. Diajari ilmu bela diri boleh, tapi tetap, anak di bawah usia 12 tahun harus dalam pengawasan orangtua di setiap situasi di manapun dan kapanpun," katanya.

"Gandeng tangan anak supaya tidak jauh-jauh jalannya. Jangan tinggalkan anak duduk atau berdiri sendirian tanpa pendamping yang dikenal," tutup dia.