Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada 2022 Tak Akan Sampai 5 Persen
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2022 akan tumbuh di atas 5 persen, sejalan dengan konsumsi masyarakat yang meningkat pada akhir tahun.
"Pada kuartal IV pertumbuhan ekonomi (Indonesia) akan tetap kuat di atas 5 persen atau sekitar 5 persen, karena kami melihat kondisi dari konsumsi masyarakat masih tumbuh sangat kuat, bahkan mobilitas menjelang akhir tahun meningkat," ujarnya dalam CEO Banking Forum, seperti dikutip pada Rabu, 11 Januari.
Tak hanya itu, optimisme Sri Mulyani dilandasi oleh penerimaan pajak di daerah yang berasal dari restoran, hotel, hingga biaya parkir yang diperkirakan bisa naik hingga 120 persen. Ia melihat hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan hampir di semua daerah.
"Penerimaan pajak daerah-daerah dari sisi pajak restoran, hotel, dan parkir naiknya enggak 11 persen, tetapi 20 persen. Naiknya itu 60 persen, bahkan 120 persen, ini enggak cuma fenomena di Jakarta, ini fenomena hampir di semua daerah," ucapnya.
Meski begitu, sejumlah pengamat ekonomi menilai hal tersebut tidak sepenuhnya bisa terjadi. Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2022 hanya berkisar di angka 4,8-4,95 persen atau lebih rendah di bawah 5 persen.
Baca juga:
- Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Jadi 1,7 Persen
- Hindari Belenggu Middle Income Trap, Sri Mulyani: Indonesia Menuju Negara Berpenghasilan Tinggi
- OJK: Kinerja Industri Perbankan RI yang Stabil Mampu Dorong Optimisme di Tengah Gejolak Ekonomi Global
- Hadapi Ketidakpastian Global, Jokowi Minta Hati-hati Ambil Keputusan dan Kebijakan
Bhima menyebut salah satu faktor yang menjadi pemicunya adalah perlambatan ekspor dan konsumsi.
"Ada tekanan dari indikasi kinerja ekspor yang agak sedikit mengalami perlambatan. Dari harga komoditas juga sudah mulai alami moderasi, tetapi memang yang paling berpengaruh adalah konsumsi," kata Bhima kepada VOI, Rabu, 11 Januari.
"Kenapa? Karena dibandingkan kuartal IV-2021 lalu, itu, kan, pertumbuhannya relatif tinggi, ya, di kuartal IV tahun 2022, masih ada pelonggaran mobilitas, tetapi momentum Nataru belum maksimal karena ada kenaikan inflasi, kenaikan suku bunga, itu juga menjadi hambatan dari laju konsumsi rumah tangga," kata Bhima menambahkan.
Lebih lanjut, kata Bhima, kondisi tersebut bisa menjadi cerminan bahwa tantangan di kuartal I-2023 akan makin kompleks. "Jadi, perlu diwaspadai juga dengan indikator penjualan ritel yang agak sedikit melambat bisa berlanjut di kuartal I-2023," tuturnya.
Oleh karena itu, Bhima menyarankan perlunya stimulus dari pemerintah pada awal 2023, seperti relaksasi pajak, pembukaan kesempatan kerja yang lebih besar, dan kecepatan serapan belanja anggaran di pusat dan daerah.
"Sehingga nanti dikuartal pertama 2023 sudah ada pencairan anggaran yang bisa menggerakkan roda perekonomian, terutama di daerah," pungkasnya.