Mahfud MD: Boleh Persoalkan Perppu Cipta Kerja, Tapi Prosedur Sudah Sesuai
JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut masyarakat dipersilakan mengkritik isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker), namun prosedur pembuatan produk hukum tersebut sudah sesuai dengan aturan.
"Nah kalau isinya yang mau dipersoalkan silakan, tetapi kalau prosedur sudah selesai," kata Mahfud di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, dilansir ANTARA, Selasa, 3 Januari.
Pada 30 Desember 2022 Presiden Jokowi menandatangani Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, menggantikan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pertimbangan dikeluarkannya Perppu tersebut adalah karena kebutuhan mendesak sesuai dengan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
"Ada istilah hak subjektif Presiden, itu di dalam tata hukum kita, bahwa alasan kegentingan itu adalah hak subjektif Presiden. Tidak ada yang membantah sekali satu pun ahli hukum tata negara bahwa itu membuat Perppu itu alasan kegentingan itu berdasar penilaian Presiden saja," ungkap Mahfud.
Menurut Mahfud, bila ada yang mempermasalahkan isi Perppu Ciptaker dapat melakukan dua langkah.
"Tinggal nanti akan ada 'political review' di DPR masa sidang berikutnya lalu 'judicial reviewnya' kalau ada yang mempersoalkan ke MK, kan gitu saja," tambah Mahfud.
Mahfud menyebut banyak pihak juga yang tidak paham putusan Mahkamah Konstitusi MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai "judicial review" Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Gini, banyak yang pertama tidak paham putusan MK itu seperti apa, yang kedua belum baca isinya sudah berkomentar, sehingga saya persilakan saja kalau mau terus didiskusikan, diskusikan saja, tetapi pemerintah menyatakan putusan MK itu mengatakan Undang-undang Ciptaker itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat," ucap Mahfud.
Pada 25 Juni 2021, MK memutuskan pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan".
"Maksud bersyaratnya apa? Berlaku dulu, tetapi selama 2 tahun diperbaiki. Diperbaiki berdasar apa? Berdasar hukum acara di mana di situ harus ada 'cantelan' bahwa 'Omnibus Law' itu masuk di dalam tata hukum kita," ungkap Mahfud.
Pemerintah, menurut Mahfud, telah menerbitkan UU No. 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada 16 Juni 2022 yang mengatur soal pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus.
"Maka kita perbaiki undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dimana di situ disebut bahwa 'omnibus law' itu bagian dari proses pembentukan undang-undang. Nah sesudah itu diselesaikan, undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) itu sudah diubah dijadikan undang-undang dan diuji ke MK sudah sah, lalu perppu dibuat berdasar itu sedangkan materi nya (UU Ciptaker) tidak pernah dibatalkan oleh MK," tutur Mahfud.
Dengan sudah terbitnya peraturan mengenai pembentukan undang-undang menggunakan metode omnibus maka pemerintah, kata Mahfud, tinggal menerbitkan perppu.
"Kita perbaiki dengan perppu, karena perbaikan dengan perppu sama derajatnya dengan perbaikan melalui undang-undang. Jadi undang-undang itu undang-undang/perppu begitu di dalam tata hukum kita," ujar Mahfud.
Namun, sejumlah pihak mengkritik terbitnya Perppu Ciptaker tersebut, salah satunya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menilai penerbitan perppu mengkhianati Konstitusi UUD 1945 dan tidak memenuhi syarat diterbitkannya perppu.
Sejumlah poin yang dipersoalkan dalam perppu antara lain adalah pertama, soal waktu libur bagi para pekerja sebagaimana diatur Bab IV Ketenagakerjaan pasal 77 diubah menjadi setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja sebagaimana dimaksud meliputi:
a. 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
b. 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Kedua, masih di bab Ketenagakerjaan, mengenai upah minimum di Pasal 88 D ayat 2 dijelaskan jika upah minimum akan mempertimbangkan beberapa variabel seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Namun "indeks tertentu" tersebut tidak dijelaskan
Ketiga, pasal tentang penetapan pesangon dalam Perppu Cipta Kerja. Dalam pasal 156 Bab Ketenagakerjaan disebutkan pemberian pesangon disesuaikan dengan masa kerja maksimal 9 kali upah bulanan bagi pekerja yang sudah mengabdi 8 tahun atau lebih. Untuk uang penghargaan untuk karyawan yang di-PHK akan mendapat maksimal 10 kali upah bagi pekerja yang sudah mengabdi lebih dari 24 tahun.
Karyawan yang di-PHK juga berhak mendapatkan penggantian atas cuti yang belum terpakai dan ongkos pulang untuk ke tempat kerja.
Pewarta : Desca Lidya Natalia