Data Pemantau Pendidikan: Guru Jadi Pelaku Kekerasan di Sekolah Terbanyak Selama 2022
JAKARTA - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan guru menjadi mayoritas pelaku kekerasan di sekolah dengan jumlah 117 kasus selama 2022.
"Kalau dilihat dari pelaku dan korban kekerasan, peserta didik menjadi pelaku sedikit cuma 77 kasus sementara korban peserta didik 185 kasus, sementara guru mayoritas menjadi pelaku sebanyak 117 kasus," ucapnya dalam konferensi pers Refleksi Akhir Tahun dan Outlook Pendidikan 2023 di Jakarta dilansir ANTARA, Jumat, 30 Desember.
Artinya, yang menjadi korban kebanyakan adalah peserta didik dan yang menjadi pelaku adalah guru. Ia menambahkan kekerasan yang terjadi di sekolah tercatat sebanyak 105 kasus adalah kekerasan seksual. Sementara kekerasan fisik sebanyak 65 kasus dan non fisik 24 kasus.
Jumlah tersebut didapat JPPI berdasarkan laporan dari masyarakat dan media massa.
Ubaid juga mengatakan penerapan Undang-Undang pencegahan kekerasan seksual menjadi tugas yang masih harus di pantau karena kekerasan seksual banyak terjadi tidak hanya di sekolah namun banyak juga terjadi di pesantren.
"Ada undang-undang pencegahan kekerasan seksual dan yang dibuat Kementerian Agama juga ada, itu masih menjadi PR besar dan juga pada kepala sekolah, madrasah dan banyak juga kasus-kasus seksual di pesantren," ucapnya.
Baca juga:
Selain tentang isu kekerasan di sekolah, Ubaid juga menyoroti penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang banyak dilakukan guru maupun kepala sekolah yang seharusnya menjadi teladan bagi lingkungan di sekolahnya.
"Karena yang melakukan ini adalah guru, bendahara, kepala sekolah. Mereka adalah yang harusnya menjadi teladan di lingkungan sekolah tapi nyatanya mereka menumbuhkan iklim atau suasana yg tidak baik," ucap Ubaid.
Dia menilai dana bantuan tersebut banyak disalahgunakan terkait pengadaan infrastruktur, barang dan jasa non infrastruktur atau semacam konsultan dan pungutan liar atau pungli yang juga masih marak terjadi di lingkungan sekolah.
Ubaid mengatakan hal itu terjadi karena pihak komite sekolah tidak pernah dilibatkan secara langsung untuk publikasi dana bantuan yang seharusnya sudah diwajibkan dari Kemendikbudristek.
"Padahal di Kemendikbud wajib tapi masyarakat sipil minta laporan dana BOS susah apalagi dipublikasikan," ucap Ubaid.
Untuk itu ia berharap tahun 2023 mendatang ada perubahan tata kelola dana BOS dan pihak komite sekolah dilibatkan dalam transparansi aliran dana untuk kebutuhan sekolah.