Review Film The Boy, the Mole, the Fox and the Horse, Cerita Sehangat Pelukan

JAKARTA - Film animasi pendek The Boy, the Mole, the Fox and the Horse tayang di Apple TV+. Film ini merupakan garapan sutradara Peter Baynton dan Charlie Mackesy. Film pendek ini diadaptasi dari buku anak-anak berjudul sama karya Mackesy yang merupakan salah satu buku terpopuler di era modern.

Sama seperti judulnya, film mengikuti seorang anak laki-laki (disuarakan oleh Jude Coward Nicoll) yang tersesat di tengah hutan bersalju. Ia mencoba mencari rumahnya, namun, ia sudah putus asa.

Ia kemudian bertemu dengan si tikus tanah (disuarakan oleh Tom Hollander) yang ramah dan bijaksana. Si tikus tanah mengajak si anak laki-laki untuk mencari rumahnya dengan mengikuti sungai. Petualangan mereka pun kemudian dimulai.

Di tengah-tengah perjalanan, mereka berdua bertemu dengan rubah (disuarakan oleh Idris Elba). Berbeda dengan si tikus tanah, sang rubah dikisahkan sebagai sosok yang agresif, namun ternyata pendiam dan memiliki rasa empati yang tinggi dengan caranya sendiri.

Perjalanan mereka untuk menemukan rumah pun berlanjut, hingga akhirnya mereka bertemu dengan kuda putih (disuarakan oleh Gabriel Byrne) yang baik dan berjiwa besar.

Dikutip dari ANTARA, Hal yang paling mencolok dari film animasi ini adalah bagaimana gaya ilustrasinya mirip dengan gaya menggambar dari sang penulis buku, Charlie Mackesy. Coretan tinta yang "tidak stabil" ketebalannya, pewarnaan seperti cat air, membawa kesan "ketidaksempurnaan" yang entah bagaimana terasa tepat dan indah untuk dilihat.

Dari segi cerita, agaknya sedikit mengingatkan kita pada Christopher Robin dan kawan-kawannya, serta Little Prince (Le Petite Prince) yang berpetualang untuk mencari sesuatu. Namun, pendekatan "The Boy, the Mole, the Fox and the Horse" bisa dibilang lebih dewasa dengan rentetan dialog yang menggugah pikiran serta diskusi.

Banyak kutipan yang begitu menyejukkan dan menggelitik sanubari. Meskipun film animasi besutan BBC itu ditujukan sebagai tontonan keluarga, rasanya tak terelakkan bahwa film itu juga dapat menjadi sebuah "pelukan" bagi orang-orang dewasa yang menontonnya.

Namun, terkadang dialog yang penuh dengan kata-kata bijak itu terasa terlalu padat, mengingat durasinya yang hanya sepanjang kurang lebih 35 menit. Tak jarang audiens mungkin merasa filmnya "preachy" dengan rentetan kutipan indah secara bertubi-tubi.

"Apa hal yang paling berani yang pernah kau ucapkan kepada seseorang?" tanya si anak laki-laki.

"'Tolong,'. Meminta tolong bukanlah tanda kamu menyerah. Tapi itu adalah kamu menolak untuk menyerah," jawab si kuda.

Bagaimana pun, The Boy, the Mole, the Fox and the Horse merupakan pengingat manis yang dapat menyentuh banyak orang dari premis sederhananya -- tentang bagaimana kita berbuat baik satu sama lain, memaknai persahabatan, berani menghadapi tantangan, dan mau menerima serta jujur dengan perasaan sendiri.

Setiap orang bisa saja mengalami perasaan tersesat atau merasa "tidak cukup", namun, apakah kita pernah membicarakannya?

Sebagian besar waktu, kitalah yang menahan diri, dan itu merupakan hal yang sangat sulit untuk diakui oleh siapa pun. Film ini menyoroti pentingnya emosi dan bagaimana mengidentifikasinya dalam diri.

Film semakin lengkap dengan iringan score dari Isobel Waller-Bridge ("Emma"). Bisa dibilang, "The Boy, the Mole, the Fox and the Horse" siap menjadi tontonan baru selama musim liburan ini.