Upaya Menjadikan Pemilu Serentak 2024 Jujur dan Adil
JAKARTA - Seperti pertandingan sepak bola, semua akan menerima dan mengakui hasil pertandingan jika prosesnya dilakukan secara adil dan berintegritas. Begitupun Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai pesta demokrasi. Dalam prosesnya, kepercayaan adalah kunci. Penyelenggaraan Pemilu yang terpercaya akan menghasilkan legitimasi yang kuat.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan itu saat Konsolidasi Nasional Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI di Hotel Bidakara pada 17 Desember lalu. Satu persoalan yang kerap menjadi bahan tudingan kecurangan adalah mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Kita ini paling lemah di urusan data, karena memang geografis kita rentangnya sangat panjang,” kata Jokowi.
Memang pekerjaan yang berat. Terlebih, Pemilu dan Pilkada 2024 dilaksanakan serentak. Ini akan menjadi pesta demokrasi terbesar dalam sejarah Pemilu di Indonesia, dan mungkin terbesar di dunia. Bagaimanapun, kata Jokowi, kualitas Pemilu merupakan fondasi politik yang penting di dalam bernegara dan berpemerintahan.
“Sebagai pengawas, peran Bawaslu menempati posisi yang sangat sentral. Untuk menjaga integritas pemilu, pengawasan harus dilakukan di semua tahapan pemilu. Seluruh prosesnya harus diawasi dengan sangat cermat, ditangani dengan sangat hati-hati, untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas,” jelasnya.
“Kalau ada yang menghambat, apalagi dari pihak pemerintah yang tidak kooperatif, nanti Pak Rahmat Bagja (Ketua Bawaslu) laporkan ke saya, karena urusan DPT sangat krusial,” Jokowi menambahkan.
Sudah selaiknya, Bawaslu mampu memastikan proses Pemilu berlangsung bebas dan rahasia, serta jujur dan adil.
Refleksi Pemilu 2019
Permasalahan dalam Pemilu, menurut M. Afifuddin dalam bukunya ‘Membumikan Pengawasan Pemilu’, memang tidak semata proses pencoblosan atau kontestasi politik di bilik suara, tetapi juga berkaitan dengan proses pelembagaan demokrasi secara menyeluruh.
Bila berkaca dari Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019, selain penyusunan DPT, ada sejumlah permasalahan lain yang perlu dicermati, seperti penyikapan masyarakat terhadap hoax, politik identitas, problem kaderisasi partai politik, akselerasi pembangunan, perebutan akses sumberdaya alam, dan penegakan hukum.
Bahkan, Afifuddin memberi catatan tambahan sebagai refleksi dari proses Pemilu sebelumnya, khususnya terkait dengan pendaftaran pemantau Pemilu. Pertama, Bawaslu tidak bisa banyak melakukan proses verifikasi dan validasi secara langsung ke lapangan untuk mengecek kebenaran berkas yang diajukan oleh lembaga pemantau Pemilu.
“Selain itu, banyak sekali pemantau Pemilu yang mengajukan berkas pendaftaran pemantau Pemilu di detik-detik menjelang hari pemungutan suara. Akhirnya yang diteliti adalah berkas-berkas administrasi yang disetorkan pendaftar pemantau,” katanya.
Kedua, terkait dengan seberapa besar kualitas pemantauan yang dilakukan pemantau Pemilu 2019. Ini, menurut Afifuddin, sangat penting.
“Menjawabnya butuh penelitian dan penggalian data lebih lanjut, sebab pengukuran terkait dengan kualitas tentu membutuhkan detail yang menyangkut proses yang terjadi di lapangan,” lanjutnya.
Sebagian besar para pemantau Pemilu 2019 melakukan proses pemantauan di hari pemungutan suara. Ada pula yang melakukan pemantauan isu spesifik, seperti soal dana kampanye, keterpenuhan hak penyandang disabilitas dalam Pemilu, keterpenuhan hak masyarakat adat dalam Pemilu, hingga netralitas ASN.
Namun realitasnya, tidak banyak pemantau Pemilu yang membuat laporan ke Bawaslu di akhir tahapan Pemilu.
Sehingga, dia pun menilai pemantauan Pemilu akan jauh lebih baik jika dilakukan di setiap tahapan atau tidak hanya tahapan pemungutan suara.
“Keberadaan pemantau Pemilu di Indonesia masih sangat diperlukan guna menjaga dan mendorong agar proses Pemilu bisa berjalan dengan jujur dan adil sehingga melahirkan para pemimpin yang baik,” kata Afifuddin.
Memang sudah ada pengawas Pemilu, tetapi demokrasi mensyaratkan adanya kekuatan masyarakat yang ikut berperan dalam proses politik, termasauk Pemilu. Dalam teorinya, semakin peduli dan semakin kuat masyarakat sipil dalam mengawal Pemilu, maka pelaksanaan Pemilu akan bisa lebih demokratis.
“Sebaliknya, jika negara terlalu kuat dan masyarakat sipil sangat lemah maka Pemilu di suatu negara akan semakin tidak demokratis,” imbuhnya.
Isu Strategis IKP 2024
Hasil laporan IKP 2024 yang disampaikan oleh Bawaslu pada 16 Desember lalu juga menunjukkan permasalahan yang tak jauh berbeda. Soal netralitas penyelenggara Pemilu, polarisasi di masyarakat, dan dinamika politik di dunia maya juga masih menjadi isu utama.
Itu, menurut anggota Bawaslu Lolly Suhenty, menjadi pengalaman penting yang menguji profesionalitas. Sehingga, perlu ada upaya-upaya khusus mengatasinya.
“Termasuk juga dinamika sosial media. Perlu ada upaya mitigasi dampak penggunaan media sosial," ucap wanita yang juga menjabat sebagai Koordinator Divisi Pencegahan, Pengawasan, dan Partisipasi Masyarakat Bawaslu ini dalam peluncurkan IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 pada 16 Desember lalu, dilansir dari laman resmi Bawaslu.
Isu strategis lainnya yang menjadi perhatian adalah pelaksanaan tahapan Pemilu di empat provinsi baru di Papua, yakni Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Serta, pemenuhan hak memilih dan dipilih yang harus dijamin sebagai hak konstitusional warga negara, terutama untuk kalangan perempuan dan kelompok rentan.
Selain isu, IKP 2024 juga memaparkan data wilayah dengan kategori rawan. Tertinggi adalah DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur.
Kategori rawan sedang terdapat di 21 provinsi, antara lain Banten, Lampung, Riau, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Adapun kategori rawan rendah terdapat di 8 provinsi, antara lain Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Jambi.
“Kami harap semua daerah tetap kondusif. Tidak terjadi hal-hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses Pemilu yang demokratis,” imbuhnya.
IKP menjadi basis untuk program pencegahan dan pengawasan tahapan Pemilu dan pemilihan. Ini sebagai upaya Bawaslu dalam proyeksi dan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran.
“Bagi Bawaslu, data IKP kemudian dijadikan acuan penyusunan program pencegahan dan pengawasan yang selanjutnya diteruskan ke masing-masing wilayah,” kata Afifuddin dalam buku tersebut.
Sedangkan untuk para pemangku kepentingan lainnya, data-data IKP bisa dijadikan basis kesiapsiagaan untuk merumuskan tindakan yang bisa dilakukan. Dasar untuk menjalankan kerja-kerja sektoral di tiap institusi.
“Misalnya, kepolisian dan TNI dapat melakukan monitoring terhadap kerawanan yang muncul dari hasil pemetaan IKP. Masyarakat sipil, khususnya pemantau Pemilu, dapat melakukan pemantauan lebih spesifik dan fokus pada permasalahan yang menjadi kerawanan di tiap wilayah pemantauan. Demikian pula akademisi dan peneliti dapat menjadikan data IKP sebagai acuan riset-risetnya,” tulis Afifuddin.
Sementara bagi KPU, basis data IKP dapat berguna untuk mengantisipasi potensi-potensi kesalahan, maladministrasi dalam tahapan pelaksanaan Pemilu.
Baca juga:
- Kemenangan Tim Tango di Piala Dunia 2022 Qatar Menjadi Obat bagi Rakyat Argentina
- Johnny Depp dan Will Smith Tokoh Terpopuler Google Trends Global 2022: Bukan Soal Prestasi, tapi Sensasi
- Final Piala Dunia 2022 Qatar, Prancis vs Argentina: Statistik Mereka Berimbang, Juara Bakal Ditentukan Lewat Adu Penalti?
- Polemik UU KUHP di Media Sosial, Monitoring Netray Didominasi Sentimen Negatif