Jokowi Harus Terima Lamanya Penyerahan RUU Cilaka ke DPR
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan agar omnibus law cipta lapangan kerja dan perpajakan diselesaikan dalam kurun waktu seratus hari. Namun, presiden harus menerima kenyataan omnibus law masih jauh dari kata mulai. Hingga saat ini draf rancangan undang-undang (RUU) tersebut belum diserahkan ke DPR.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani menegaskan, sampai saat ini pihaknya belum menerima draf omnibus law cipta lapangan kerja maupun perpajakan.
"Jadi saya juga menyampaikan mengimbau kepada masyarakat, sampai hari ini sampai nanti diserahkan draf omnibus law itu, belum ada draf resmi yang diterima DPR," tuturnya di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 29 Januari.
Pembahasan omnibus law baru bisa dimulai, kata Puan, jika draf final RUU tersebut sudah diserahkan kepada DPR. Kemudian, pihak pimpinan akan menindaklanjuti melalui rapat pimpinan (rapim) untuk memutuskan mekanisme pembahasannya akan seperti apa.
"Setelah Ketua DPR menerima akan dirapimkan, atau nanti akan ada Bamus, atau rapat konsultasi dengan para pimpinan fraksi, kalau kemudian disepakati baru kita akan masukkan (ke) paripurna dan seterusnya. Hal itu yang kemudian disampaikan proses di DPR. Jadi memang harus dilakukan hal seperti itu," tuturnya.
Puan sebelumnya menggelar pertemuan dengan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Namun, kedatangan dua menteri Jokowi ini bukan untuk menyerahkan draft UU. Melainkan hanya menyamakan persepsi antara pemerintah dengan parlemen mengenai omnibus law.
Seperti diketahui, dari dua omnibus law prioritas, cipta lapangan kerja menuai banyak pertentangan. Mulai dari kalangan buruh, UMKM hingga dunia usaha.
Pada 20 Januari, ribuan buruh yang yang berasal dari berbagai organisasi menggelar demo di DPR untuk menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyatakan, ada kekhawatiran omnibus law akan merugikan kaum buruh.
Ada enam alasan mengapa buruh menolak keberadaan omnibus law. Pertama, menghilangkan upah minimum, kedua menghilangkan pesangon, ketiga membebaskan buruh kontrak dan outsourcing. Keempat, omnibus law akan mempermudah masuknya tenaga kerja asing. Kelima, menghilangkan jaminan sosial, dan terakhir menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Said mengatakan, sebagai buruh, pihaknya setuju saja dengan prinsip pemerintah guna meningkatkan investasi. Namun, jika investasi justru menurunkan kesejahteraan dan mengorbankan masa depan buruh, tentu pemerintah harus membatalkan regulasi ini.
Kritik ke Istana
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengklaim akan mengakomodir masukan dari berbagai kalangan terkait RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Fadjroel menjelaskan, semua kritik akan diakomodir mulai dari buruh dan pengusaha, apalagi pembahasan dilakukan secara terbuka di DPR.
"Kritik itu sekarang sudah diterima baik dari buruh, dari pengusaha. Semua kan ada. Semuanya masuk dan kritik nanti yang paling utama pas di DPR. DPR kan mewakili semua parpol, mewakili semua pihak nanti masyarakat bisa masuk ke sana. Artinya nanti pembahasan pembahasan di DPR," ungkap Fadjroel, Rabu, 29 Januari, seperti dilansir Tirto.
Fadjroel optimistis legislatif dan eksekutif akan menyelesaikan Undang-Undang (UU) Omnibus Law sesuai target. Omnibus law akan merevisi 1.244 pasal pada 79 UU yang mencakup sebelas klaster.
Kesebelasnya mencakup penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; kawasan ekonomi, baik itu kawasan industri.