SCR di PLTU Jawa 9&10 Jadi Fokus Kajian Opsi Turunkan Emisi Pembangkit
JAKARTA - Teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR) dan penggunaan energi primer green amonia, menjadi salah satu opsi yang kini tengah dikembangkan untuk menurunkan emisi karbon pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Teknologi yang punya potensi untuk digunakan pada sejumlah PLTU ini, merupakan bagian dari upaya untuk dekarbonisasi yang ditimbulkan dari pembakaran batu bara.
Dengan alasan inilah PT Prima Layanan Nasional Enjiniring dengan PT Indo Raya Tenaga (IRT) sepakat untuk menjalin MoU "Join Study co-firing of 60 Persen Green Amonia at SCR-equipped USC Power Plant of Jawa 9&10". Penandatanganan kesepakatan ini di lakukan di sela-sela rangkaian B20 di Nusa Dua Bali, Senin 14 November.
Hartarto Wibowo, Direktur Corporate Planning & Business Development PLN menuturkan, kerja sama antara PLN Enjiniring, anak usaha PLN dengan IRT sebagai pengambang PLTU Jawa 9&10 ini ditujukan untuk kemungkinan penggunaan energi primer green amonia sebagai bahan bakar PLTU sebanyak 60 persen karena Jawa 9&10 sudah dilengkapi teknologi SCR.
"Kami harap studinya menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Dan ini akan menjadi cara kita agar coal power plant pun akan lebih ramah lingkungan," tuturnya.
Menurutnya, feasibility study yang dijalankan bisa selesai dalam waktu tiga bulan ke depan. Setelah itu hasilnya bisa dipresentasikan ke Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM).
"Ini semua untuk hidup yang lebih renewable," serunya.
Di kesempatan yang sama, Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana mengatakan, sejauh ini sudah ada upaya keras baik dari pemerintah maupun PLN dalam melakukan dekarbonisasi untuk PLTU. Apa yang dilakukan pengelola PLTU Jawa 9&10 dengan teknologi SCR yang menggunakan 'green amonia' menjadi satu opsi yang dikaji serius. Dia berharap kajian ini juga tidak lama dilakukan.
"Tak ada yang salah dengan batu bara, karena sebagai produk ia bermanfaat. Hal yang kita hindari adalah batu bara itu ujungnya ada CO2. Karena itu kita harus cari cara bagaimana agar emisinya bisa berkurang atau terserap," ujarnya.
Jalan yang paling praktis mungkin bisa dilakukan dengan mengganti PLTU batu bara.
"Tapi ada aset dan segala nilai keekonomian. Makanya kita berpikir jalan dekarbonisasi. Kalau (MoU) ini mengarah ke hidrogen dan amonia, saya pikir ini jalan yang smart," tuturnya.
Dadan menegaskan, saat ini pemerintah tengah aktif mendorong berbagai upaya dan kajian untuk menjalankan kebijakan nol emisi karbon atau Net Zero Emissions (NZE).
"Seluruh alternatif kita jalani, arahnya bagaimana caranya kita meredam CO2. Ujungnya tidak ada CO2 yang keluar," kata Dadan.
PLTU Jawa 9&10 Paling Siap
Sekadar informasi, Indonesia memang tengah gencar mempromosikan transisi energi terbarukan. Apabila pengelolaan dan keberlangsungan sumbernya tersedia, maka amoia biru dan hijau dapat menjadi salah satu bagian dari perjalanan menuju transisi energi terbarukan, sebagai sumber energi bersih alternatif bagi pembangkit tenaga uap batu bara.
Pembakaran amonia di dalam tungku uap, tidak akan menghasilkan emisi karbon, namun pembakaran tersebut tetap mengeluarkan emisi gas rumah kaca berupa nitrogen oksida.
Sebagai jawabannya, Selective Catalytic Reduction (SCR) adalah teknologi yang sudah terbukti untuk menurunkan nitrogen oksida dan nitrogen dioksida, dengan mengkonversikan molekulnya menjadi air dan nitrogen bebas.
Dengan menggunakan CSR pada PLTU, bersamaan dengan low Nox burner akan secara signifikan menurunkan kadar nitrogen oksida dan nitrogen dioksida. Oleh karena itu akan membuka kemungkinan co-firing jauh lebih banyak amonia hijau dibandingkan batu bara di dalam pembangkit tenaga uap batu bara.
Baca juga:
Untuk diketahui, PLTU Jawa 9&10 adalah pembangkit Ultra Super Critical peraih penghargaan sebagai satu-satunya pembangkit di Indonesia. PLTU ini memasang peralatan pengontrol emisi terlengkap dengan adanya Flue Gas Desulfurization, Electro-Static Precipitator, Low NOx burner dan Selective Catalytic Reduction.
"Mengapa kami mau pakai SCR, karena kami mau berbeda dengan yang lain. Jadi PLTU yang menggunakan teknologi Ultra Super-Critical USC dan juga SCR ya, Cuma satu yakni PLTU Jawa 9&10," kata Presiden Direktur PT Indo Raya Tenaga (IRT) Peter Wijaya.
Dengan studi bersama ini, IRT, kata Peter, PLTU Jawa 910 nantinya akan siap untuk co-firing amonia hijau yang signifikan pada saat dan jika arahan PLN tentang sumber bahan bakar alternatif tersebut tersedia di masa mendatang.
"Target kami kami adalah siap, jadi apabila PLNE ingin mentransisikan energi batu bara ke green amonia, PLTU ini sudah siap," imbuhnya.
Sebagai pembangkit satu-satunya di Indonesia yang sedang dilengkapi dengan Selective Catalytic Reduction, PLTU Jawa 9&10 melakukan studi bersama dengan PLN dalam rangka kemugkinan co-firing 60 persen amonia hijau dengan 40 persen batu bara.
PLTU Jawa 9&10 sendiri didanai dengan skema project finance sejak November 2020 dan disponsori 51 persen oleh grup PLN Indonesia Power, 34 persen oleh grup Barito Pacific, dan 15 persen oleh grup Kepco. Proyek BOOT ini dibuat bankable lewat PPA 25 tahun yang tidak memerlukan jaminan pemerintah.
Pada bulan Oktober 2022, PLTU Jawa 9&10 sudah mencapai tingkat EPC 81 persen dan diharapkan akan komisioning pada kuartal terakhir tahun 2024 dan akan COD di kuartal kedua tahun 2025.