Dukung Teknologi CCS/CCUS, Pemerintah Siap Rampungkan Regulasi dalam Waktu Dekat
JAKARTA - Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) merupakan tren baru dalam menghadapi transisi energi demi mencapai target Net Zero Emission (NZE) global.
Pemerintah meyakini implementasi CCS/CCUS di Indonesia akan dapat mendukung peningkatan produksi migas sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).
Perwakilan Ditjen Migas Juniarto M Palilu mengatakan, untuk mendukung pemanfaatan CCS/CCUS dalam kegiatan usaha migas, pemerintah telah menyusun regulasi yang melibatkan pelbagai pihak dan diharapkan rampung dalam waktu dekat ini.
Dalam draft regulasi tersebut, diatur mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga penutupan injeksi.
"Dalam tahap pelaksanaan, KKKS wajib menyediakan sistem tanggap darurat yang meliputi penilaian risiko, prosedur tanggap darurat, peralatan tanggap darurat termasuk peralatan peringatan dini, personel terdidik dan terlatih dan pelatihan berkala," ujar Juniarto dalam keterangan kepada media, Senin, 7 November.
Selanjutnya terkait penutupan injeksi harus dilakukan monitoring untuk menjamin keselamatan pekerja, instalasi dan peralatan, lingkungan, dan/atau keselamatan umum.
Monitoring dilakukan sejak rencana penyelenggaraan CCS/CCUS disetujui sampai 10 tahun setelah penyelesaian penutupan injeksi.
Rencana monitoring dilakukan berdasarkan kaidah keteknikan yang baik, sesuai karakteristik lokasi, menggunakan metode langsung maupun tidak langsung untuk mengidentifikasi potensi risiko seperti kebocoran, kontaminasi air tanah, integritas lapisan zona penyangga, zona kedap dan perangkap geologi, serta potensi risiko lainnya.
Pentingnya monitoring ini juga dikemukakan oleh akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Rahmat.
Menurut Rahmat, program monitoring harus dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu dan perlu pengawasan terhadap resiko yang dapat terjadi.
"Bisa saja setelah penutupan injeksi terjadi kebocoran. Jadi harus diidentifikasi untuk menghindari hal tersebut," ungkapnya.
Potensi kebocoran, menurut Rahmat, ada dua macam yaitu pertama, kebocoran akibat menginjeksikan CO2 di mana bagian bawah tekanannya sudah tinggi.
Untuk itu harus dilakukan studi bagaimana supaya batuan penutup kuat untuk menahan batuan tambahan. Kedua, kebocoran dari lubang bor sumur produksi.
CCS-CCUS sudah dilakukan di berbagai negara maju seperti Norwegia.
Hal ini lantaran negara tersebut memberlakukan carbon tax yang cukup mahal sehingga pelaku bisnis memilih menggunakan teknologi ini untuk menekan emisinya.
Sementara untuk Indonesia yang tidak memberlakukan carbon tax yang tinggi, harus mencari solusi agar pelaku bisnis mau melakukan CCS-CCUS.
Asal tahu saja, berdasarkan Roadmap IEA untuk NZE tahun 2050 di sektor energi, teknologi CCUS akan berkontribusi lebih dari 10 persen dari kumulatif pengurangan emisi global pada tahun 2050.
Baca juga:
Sedangkan untuk Asia Tenggara, untuk menjaga agar tujuan Paris Agreement dapat tercapai, kebutuhan CCS/CCUS di Asia Tenggara mencapai 35 juta tCO2 pada tahun 2030 dan lebih dari 200 juta tCO2 pada tahun 2050.
Indonesia memiliki banyak lapangan migas dengan kandungan CO2 tinggi. Saat ini terdapat 15 kegiatan CCS/CCUS di Indonesia yang masih dalam tahap studi/persiapan, namun sebagian besar ditargetkan onstream sebelum 2030.