Segudang Alasan Mengapa BI Layak Naikkan Suku Bunga Acuan jadi 4,0 Persen

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) hari ini dijadwalkan bakal menggelar konferensi pers terkait dengan penetapan suku bunga acuan terbaru.

Hal tersebut menjadi salah satu pokok pemaparan usai bank sentral menggelar Rapat Dewan Gubernur pada 21-22 September.

Diketahui bahwa BI pada bulan lalu mengerek rate interest 25 basis points (bps) menjadi 3,75 persen.

Sebelumnya, otoritas moneter memberlakukan suku bunga acuan 3,50 persen sejak 2020 sebagai bentuk antisipasi pelemahan ekonomi saat pandemi.

Asal tahu saja, level 3,50 persen sepanjang sejarah menjadi angka yang paling rendah.

Lebih lanjut, sikap agresif BI terhadap suku bunga sejalan dengan tren global yang berupaya menjaga laju inflasi.

VOI mencatat, setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa Bank Indonesia mempunyai ruang yang cukup untuk kembali menaikan BI rate.

Pertama, antisipasi lonjakan inflasi. Sudah menjadi rahasia umum jika kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bakal turut mendongkrak nilai barang dan jasa lain.

Terlebih, faktor utama inflasi dalam dua bulan terakhir berasal dari gejolak harga bahan pangan (volatile food).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa inflasi volatile food mencapai puncaknya pada Juli 2022 dengan besaran 11,47 persen year on year (yoy).

Angka tersebut kemudian melandai jadi 8,93 persen di akhir Agustus.

Akan tetapi, pada Juli yang lalu BI belum memutuskan untuk menaikan suku bunga lantaran patokan utama inflasi inti, yang menunjukan permintaan masyarakat, masih bertengger di level 2,86 persen atau sedikit di bawah ekspektasi 2,9 persen.

Baru di periode Agustus kemarin otoritas moneter secara resmi meningkatkan suku bunga acuan jadi 3,75 persen karena inflasi inti telah melesat ke 3,04 persen.

Asal tahu saja, Bank Indonesia sendiri telah membuat proyeksi jika inflasi inti bakalan melambung hingga 4,15 persen pada akhir tahun. Artinya, kenaikan BI rate di Agustus bukanlah yang terakhir.

Kedua, pertumbuhan kredit sudah double digit. Mengutip siaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terungkap bahwa penyaluran kredit per Juli 2022 telah menembus 10,5 persen yoy.

Ini mengindikasikan sektor dunia usaha terus melanjutkan ekspansi bisnis dengan kebutuhan dana yang meningkat.

Torehan Juli 2022 bahkan sudah mendekati level prapandemi dengan growth rerata sebesar 12-13 persen.

Perlu diingat bahwa pertumbuhan kredit yang terlalu kencang juga tidak melulu baik.

Kembali ke tahun 2013, laju intermediasi perbankan kala itu sempat meroket sampai 20 persen.

Akibatnya,  ekonomi Indonesia menjadi terlalu panas (overheated) sehingga memicu defisit neraca berjalan yang memberi tekanan ke currency risk rupiah.

Tiga, kenaikan suku bunga membuat pasar keuangan RI tetap kompetitif. Tidak bisa dipungkiri bahwa margin yang tinggi menjadi daya pikat tersendiri bagi investor untuk membenamkan modalnya di Indonesia.

Selain agar tidak terlambat (behind the curve), normalisasi tingkat suku bunga juga ditujukan untuk menjaga attractiveness aset-aset domestik di mata asing serta menghindari capital out flow di pasar keuangan.