Akhirnya, Pelajar Indonesia Bisa Kembali ke China Meski Kegerahan Berbaju Hazmat Selama 6 Jam Penerbangan
JAKARTA - Pesawat carter milik maskapai Citilink mendarat di Guangzhou, China, Rabu, 7 September malam.
Roda pesawat bernomor penerbangan QG-8824 yang mengangkut 124 pelajar ditambah satu orang keluarga staf Kedutaan Besar RI di Beijing itu menyentuh landasan Bandar Udara Internasional Baiyun di Guangzhou, Provinsi Guangdong, sekitar pukul 22.30 waktu setempat (21.30 WIB).
Sebagian besar penumpang pesawat jenis Airbus A-320 itu tak menunjukkan rasa lelah, meskipun telah menempuh perjalanan sekitar enam jam dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, pada sore harinya.
Di wajah-wajah mereka tergambar rona kemenangan setelah berjuang selama berbulan-bulan agar bisa kembali melanjutkan studinya di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Kembali ke China tidak seperti bepergian ke negara-negara lain sejak pandemi COVID-19 pertama kali ditemukan di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu.
Dilansir ANTARA, Sabtu, 10 September, beberapa negara, termasuk Indonesia, telah membuka diri untuk kedatangan orang asing, bahkan mereka sudah tidak lagi mewajibkan karantina dan tes PCR.
Tapi tidak di China. Vaksin, tes PCR, dan karantina masih menjadi persyaratan wajib yang harus dipenuhi bagi pelaku perjalanan internasional, termasuk pelajar Indonesia, tanpa terkecuali.
Belum lagi China masih sangat membatasi kedatangan orang asing karena alasan pandemi COVID-19.
Hanya orang-orang tujuan tertentu dan urusan yang sangat penting yang bisa mendapatkan visa dari kantor-kantor perwakilan pemerintah China di berbagai negara.
Namun visa bukan satu-satunya. Hasil tes negatif COVID-19 dalam 48 jam terakhir yang divalidasi dengan Green Code dari Kedutaan China dan bukti karantina sebelum terbang ke China menjadi syarat yang harus dipenuhi juga.
Karena itu wajar sekali kalau wajah para pelajar Indonesia tetap semringah meskipun didera jet lag.
Kegerahan selama enam jam dalam penerbangan dengan mengenakan alat pelindung diri (APD) itu mereka anggap juga bukan sesuatu yang menyiksa demi menangkal serangan virus yang kapan saja dan di mana saja terjadi.
Tidak jarang di antara para pelajar yang pakaiannya basah kuyup oleh keringat karena APD lengkap yang mereka kenakan selama di dalam pesawat.
Perjuangan itu layak mereka syukuri dengan suatu kebahagiaan lantaran memang tidak mudah memasuki wilayah China daratan.
Seharusnya pesawat carter milik anak perusahaan Garuda Indonesia Airlines tersebut mengangkut 153 pelajar.
Namun karena ada 28 orang hasil tes PCR-nya positif saat menjalani karantina di salah satu hotel di Jakarta, maka mereka tidak diizinkan untuk terbang.
Sayang seribu sayang memang. Mereka, bahkan ada yang jauh-jauh datang ke Jakarta agar bisa terbang ke China, berakhir dengan kegagalan. Begitu pula dengan visa dari Kedutaan China yang didapatkan dengan susah payah yang pada akhirnya tak berarti apa-apa, hanya gara-gara tanda plus (+) pada lembar laporan hasil tes usap terpadu prakeberangkatan.
Kalau sudah begitu, maka kesempatan berikutnya hanya bisa didapat dua atau tiga bulan lagi. Tidak sedikit, orang Indonesia yang mengalami kegagalan terbang ke China lantaran gagal tes PCR, meskipun visa sudah di tangan.
Mahal dan Rumit
Hampir tiga tahun pandemi COVID-19 berlangsung, China masih menerapkan kebijakan nol kasus secara dinamis, sehingga penutupan akses wilayah (lockdown) masih terjadi begitu ditemukan kasus baru.
Pendaratan pesawat Citilink ke Guangzhou di wilayah selatan China pada Rabu malam itu sebenarnya bukan pilihan. Sejatinya pesawat tersebut mendarat di Chengdu, di wilayah barat daya China. Namun karena di Ibu Kota Provinsi Sichuan tersebut sedang di-lockdown, maka pendaratan dialihkan ke Guangzhou, Ibu Kota Provinsi Guangdong.
Meskipun pesawat tersebut disewa oleh Kedutaan Besar RI di Beijing, dalam hal ini Atase Pendidikan dan Kebudayaan, bukan berarti para pelajar Indonesia dapat menumpang secara gratis. Mereka tetap membayar tiket Jakarta-Guangzhou untuk sekali jalan Rp16 juta.
Harga tiket sekali jalan tersebut relatif mahal, bahkan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan Jakarta-Taipei yang jarak dan durasi penerbangannya hampir sama. Untuk saat ini Jakarta-Taipei pergi-pulang hanya Rp17 juta dengan menggunakan pesawat komersial terjadwal.
Tiket pesawat ke China memang masih mahal untuk saat ini, namun jauh lebih murah dibandingkan dengan tiga atau enam bulan sebelumnya yang bisa mencapai angka Rp80 juta hingga Rp95 juta dari Jakarta untuk sekali jalan.
Mahalnya tarif penerbangan ke China itu lantaran otoritas penerbangan setempat masih mengenakan bea pendaratan (landing fee) yang cukup besar, bahkan konon bisa mencapai 20 atau 30 persen dari total biaya sewa pesawat. Selain itu ada perlakuan khusus bagi pesawat-pesawat yang terbang dari luar China untuk memastikan bebas COVID-19.
Sesampai di China, para pelaku perjalanan internasional masih diwajibkan menjalani karantina terpadu di kota pendaratan pertama selama tujuh hingga 10 hari ditambah karantina terpantau di kota tujuan selama tiga hingga tujuh hari.
Karantina tersebut sifatnya wajib dan tidak bisa ditawar-tawar. Biayanya juga ditanggung sendiri, termasuk makan dan minum selama karantina. Biasanya lokasi karantina berada di hotel yang ditunjuk oleh Satgas COVID-19 setempat yang jauh dari pusat kota atau berada di sekitar bandara.
Biaya karantina ini bisa setara atau mungkin lebih mahal daripada harga tiket pesawat itu sendiri.
Hal inilah yang membedakan dengan evakuasi 238 warga negara Indonesia dari Wuhan, Provinsi Hubei, pada 30 Januari 2020, dengan menggunakan Batik Air yang semuanya ditangguh oleh pemerintah Indonesia, termasuk karantina di Natuna, Kepulauan Riau. Bahkan biaya pemulangan ke daerah asal mahasiswa Indonesia juga ditanggung
Selain mahal, untuk bisa kembali ke China harus melalui tahap pengurusan visa yang sangat rumit. Nota diplomatik yang dikeluarkan oleh KBRI Beijing ke kampus-kampus di China belumlah cukup untuk mengurus visa bagi para pelajar asal Indonesia.
Mereka masih diharuskan mendapatkan surat izin kembali dari kampus. Sebagian kampus di China ada yang tidak bersedia mengeluarkan surat izin kembali kepada para mahasiswanya sebelum mendapatkan petunjuk atau perintah dari Kementerian Pendidikan China (MoE) atau Kantor Urusan Luar Negeri (FAO) daerah tempat domisili kampus. Padahal KBRI Beijing juga bersurat MoE, Kementerian Luar Negeri China (MFA), dan Kedutaan Besar China di Jakarta.
Dalam proses tersebut, KBRI Beijing juga berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi RI. Kurang apa coba?
Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi mahasiswa yang hendak kembali ke China di tengah terbatasnya frekuensi penerbangan dari Indonesia dan rumitnya persyaratan-persyaratan lain prakeberangkatan.
Meskipun demikian, kedatangan 124 pelajar Indonesia pada Rabu malam itu membuka secercah asa bagi pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia dalam melihat keberlangsungan kerja sama bilateral Indonesia dengan China di bidang pendidikan dan pertukaran masyarakat.
Sejak setahun yang lalu isu pengembalian pelajar Indonesia ke China ini selalu diangkat dalam pertemuan-pertemuan bilateral tingkat menteri dan menteri koordinator. Bahkan isu ini juga dimunculkan lagi saat Presiden Indonesia Joko Widodo bertemu dengan Presiden China Xi Jinping pada 26 Juli 2022.
Rona kebahagiaan terpencar dari wajah Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Beijing Yaya Sutarya begitu mendapat kabar pesawat Citilink nomor penerbangan QG-8824 mendarat dengan selamat di Bandara Baiyun pada Rabu malam itu.
Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun juga tidak kalah bahagianya. Saking bahagianya, foto-foto para pelajar Indonesia saat hendak meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta di pajang di Instagram pribadinya.
"Selamat Jalan Para Pejuang Muda, Sampai Jumpa Di Tiongkok," tulis Dubes di akun Instagram @djauharioratmangun pada 7 September 2022.