Charles Naik Takhta: Bekas Koloni di Karibia Serukan Ganti Rugi dan 'Pencopotan' Raja Sebagai Kepala Negara
JAKARTA - Aksesi Raja Charles ke takhta Inggris telah memicu seruan baru dari para politisi dan aktivis bekas koloni di Karibia, untuk mencopot raja sebagai kepala negara mereka dan agar Inggris membayar ganti rugi perbudakan.
Charles menggantikan ibunya, Ratu Elizabeth II, yang memerintah selama 70 tahun dan meninggal dunia pada Kamis sore di Kastil Balmoral, Skotlandia.
Perdana Menteri Jamaika mengatakan, negaranya akan berkabung atas Elizabeth, dan rekannya di Antigua dan Barbuda memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang sampai hari pemakamannya.
Tetapi di beberapa tempat, ada keraguan tentang peran yang harus dimainkan oleh raja yang jauh di abad ke-21. Awal tahun ini, beberapa pemimpin Persemakmuran menyatakan kegelisahan pada pertemuan puncak di Kigali, Rwanda, tentang peralihan kepemimpinan klub 54 negara dari Elizabeth II ke Charles.
Sementara dalam tur delapan hari di Bulan Maret, pewaris takhta kerajaan berikutnya Pangeran William dan istrinya, Kate, ke Belize, Jamaika, dan Bahama ditandai dengan seruan untuk pembayaran ganti rugi (reparasi) dan permintaan maaf atas perbudakan.
"Ketika peran monarki berubah, kami berharap ini bisa menjadi kesempatan untuk memajukan diskusi tentang reparasi untuk wilayah kami," Niambi Hall-Campbell, seorang akademisi berusia 44 tahun yang mengepalai Komite Reparasi Nasional Bahama, mengatakan Kamis, melansir Reuters 9 September.
Hall-Campbell mengirimkan belasungkawa kepada keluarga Ratu, mencatat pengakuan Charles atas "kekejaman perbudakan yang mengerikan" pada sebuah upacara tahun lalu yang menandai berakhirnya pemerintahan Inggris ketika Barbados menjadi republik.
Dia mengatakan, dirinya berharap Charles akan memimpin dengan cara yang mencerminkan "keadilan yang dibutuhkan saat itu. Dan keadilan itu adalah keadilan reparatoris."
Lebih dari 10 juta orang Afrika dibelenggu ke dalam perdagangan budak Atlantik oleh negara-negara Eropa antara abad ke-15 dan ke-19. Mereka yang selamat dari perjalanan brutal itu, dipaksa bekerja di perkebunan di Karibia dan Amerika.
Advokat reparasi Jamaika Rosalea Hamilton mengatakan, komentar Charles pada konferensi Kigali tentang kesedihan pribadinya atas perbudakan menawarkan "beberapa tingkat harapan, bahwa dia akan belajar dari sejarah, memahami dampak menyakitkan yang dialami banyak negara sampai hari ini" dan mengatasi kebutuhan untuk reparasi.
Charles sendiri tidak menyebutkan reparasi dalam pidato Kigali.
Sementara itu, jaringan Advokat, yang dikoordinasikan oleh Hamilton, menerbitkan sebuah surat terbuka yang menyerukan "permintaan maaf dan ganti rugi" selama kunjungan William dan Kate.
Cucu Ratu memiliki kesempatan untuk memimpin pembicaraan reparasi, tambah Hamilton.
Pemerintah Jamaika tahun lalu mengumumkan rencana untuk meminta kompensasi kepada Inggris, karena mengangkut secara paksa sekitar 600.000 orang Afrika untuk bekerja di perkebunan tebu dan pisang, menciptakan kekayaan bagi pemegang budak Inggris.
"Siapa pun yang akan mengambil alih posisi harus diminta untuk mengizinkan keluarga kerajaan membayar ganti rugi orang Afrika," kata David Denny, sekretaris jenderal Gerakan Karibia untuk Perdamaian dan Integrasi, dari Barbados.
"Kita semua harus bekerja untuk menyingkirkan keluarga kerajaan sebagai kepala negara bangsa kita," ujarnya.
Jamaika telah mengisyaratkan akan segera mengikuti Barbados dalam 'meninggalkan' pemerintahan kerajaan. Keduanya tetap menjadi anggota Persemakmuran.
Baca juga:
- Waduh, Jubir Kemlu Rusia Sebut Barat Gunakan Ukraina untuk Skema Korupsi lewat Bantuan Persenjataan
- Ratu Elizabeth II Wafat: Sekjen PBB Puji Dedikasinya untuk Dunia, Mantan Presiden AS Kenang Minum Teh Bareng di Istana Buckingham
- Besok Diproklamirkan Sebagai Raja Inggris, Penobatan Charles III Masih Tunggu Waktu
- Otoritas AS Nilai Banyak Dokumen Rahasia yang Mungkin Hilang Dalam Penyelidikan Donald Trump
Terpisah, sebuah survei pada Agustus menunjukkan 56 persen orang Jamaika mendukung penghapusan raja Inggris sebagai kepala negara.
Mikael Phillips, seorang anggota oposisi parlemen Jamaika, pada tahun 2020 mengajukan mosi yang mendukung pencopotan itu.
"Saya berharap seperti yang dikatakan perdana menteri dalam salah satu ekspresinya, bahwa dia akan bergerak lebih cepat ketika ada raja baru," tukas Phillips, Kamis.
Sementara Allen Chastanet, mantan Perdana Menteri St. Lucia dan sekarang pemimpin oposisi, mengatakan kepada Reuters, dia mendukung apa yang dia katakan sebagai gerakan "umum" menuju republikanisme di negaranya.
"Saya tentu pada titik ini akan mendukung menjadi republik," singkatnya.