Mahfud MD Jelaskan Alasan KUHP Harus Diganti Lewat Sosialisasi RKUHP

SURABAYA - Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan menyosialisasikan kepada masyaralat luas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebelum diundangkan secara resmi.

"Tim perumusnya silih berganti sejak 59 tahun yang lalu dan telah melalui arahan dari sebanyak tujuh presiden Republik Indonesia. Saat ini RKUHP relatif siap untuk diundangkan," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, saat membuka diskusi publik RKUHP yang berlangsung secara daring di Surabaya dilansir ANTARA, Rabu, 7 September

Diskusi publik ini disiarkan langsung secara daring melalui media Youtube dan Zoom sehingga masyarakat umum bisa mengikuti. Diskusi publik RKUHP merupakan yang kedua setelah 23 Agustus lalu digelar di Jakarta.

Mahfud memastikan, RKUHP telah siap untuk diundangkan setelah melalui perumusan panjang sejak 1963. Menurut dia, mengikuti arahan Presiden Joko Widodo, sebelum diundangkan, RKUHP diminta untuk didiskusikan dan didalami kembali agar mencapai kesepahaman.

Mahfud menjelaskan, KUHP yang saat ini berlaku adalah peninggalan kolonial Belanda. Dalam Peralihan Pasal II UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 digariskan bahwa hukum dan lembaga-lembaga peninggalan kolonial masih berlaku sepanjang belum dibentuk hukum dan lembaga yang baru.

Perumusan RKUHP disebut cita-cita pendiri bangsa sejak Indonesia merdeka. "Mengapa KUHP harus diganti, karena di mana ada masyarakat harus ada hukum yang sesuai dengan ideologi. Jika masyarakat berubah maka hukumnya juga harus berubah," ujar dia.

Menko Polhukam menegaskan, masyarakat Indonesia sekarang sudah berubah, dari masyarakat kolonial yang terjajah jadi bangsa merdeka. "Maka hukum kolonial harus diganti. 77 tahun negara kita merdeka dan telah membuat hukum pidana nasional ke dalam kitab undang-undang," kata dia.

Dalam RKUHP yang telah siap untuk diundangkan, lanjut dia, salah satunya memuat hukum adat yang telah lama diakui dan menjadi kesadaran hukum dengan segala kebhinekaannya menurut Pancasila, UUD 45 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Namun perlu didiskusikan dan didalami kembali untuk dicapai kesepahaman," kata Mahfud.