Melihat Makna Absurd dari Albert Camus
JAKARTA - Pada 7 November 1913, seorang sastrawan dan filsuf bernama Albert Camus terlahir di dunia. Camus berasal dari Aljazair dan pengalamannya di sana pada tahun 30-an mendominasi pengaruh dalam pemikiran dan karyanya. Orang tua Camer adalah semi-proletar, yang sejak awal terikat pada lingkaran intelektual dengan kecenderungan yang sangat revolusioner. Minat Camus dalam filsafat memaksanya datang ke Prancis di usia 25 tahun.
Camus lalu bergabung dengan gerakan perlawanan selama pendudukan. Setelah pembebasan, ia menjadi kolumnis untuk surat kabar Combat. Kegiatan jurnalistiknya merupakan tanggapan terhadap tuntutan zaman. Pada 1947, Camus pensiun dari jurnalisme politik dan mulai menulis tulisan fiksi dan esai. Kcintaannya di dunia seni juga membuatnya sangat aktif di teater sebagai produser dan penulis naskah.
Mengutip Britannica, Camus juga mengadaptasi drama Calderon, Lope de Vega, Dino Buzzati, dan Faulkner's Requiem for a Nun. Kecintaannya pada teater dapat ditelusuri kembali ke keanggotaannya di L'Equipe, sebuah grup teater di Aljazair.
Baca juga:
Absurditas dari Seorang Camus
Camus mengajukan salah satu pertanyaan eksistensialis paling terkenal di abad ke-20 lewat esai berjudul The Myth of Sisyphus. Salah satu pernyataannya adalah "hanya ada satu masalah filosofis yang sangat serius dan itu adalah bunuh diri". Filosofinya tentang absurd telah meninggalkan kita dengan gambaran yang mencolok tentang nasib manusia lewat tokoh bernama Sisyphus.
Dalam esai tersebut, Sisyphus digambarkan tanpa henti membawa batu yang dibawa di atas punggungnya ke puncak gunung meskipun berkali-kali akan berguling kembali setiap kali mencapai puncak. Sisyphus tahu bahwa batu tersebut akan jatuh kembali dan memberinya kesadaran bahwa mata rantai kehidupan menyebabkan manusia memiliki kesadaran tentang pembebasan diri dari kehidupan, tetapi bukan dengan cara bunuh diri.
Mengutip jurnal Makna Kehidupan Manusia Menurut Albert Camus oleh Astri Adriani Allien, lewat kisah Sisyphus, digambarkan bahwa sebelum bertemu dengan pengalaman yang absurd, manusia akan hidup dengan penuh harapan dan idealisme. Namun setelah berkali-kali dan akhirnya menemukan berbagai hal absurd, semangat tersebut akan runtuh begitu saja.
Selanjutnya kesadaran tentang kehidupan yang ada di setiap saat akan timbul gairah. Kegairahan tersebut dintandai dengan adanya kesadaran tentang “saat” yang kemudian berkembang menjadi kesadaran tentang "saat-saat." Kesadaran inilah yang merupakan absurd yang ideal.
Setelah mencapai tahapan tersebut, manusia akan berkembang dengan sikap masa bodoh. Sikap ini muncul karena mereka akan merasa bebas dari segala aturan dan pilihan-pilihan yang mengikatnya sehingga tidak perlu memilih atau menolak. Manusia absurd dibebaskan dari segala beban cita-cita dan harapan tentang masa depan.
Filsafat Camus ini membuatnya mendapatkan reputasi sebagai seorang moralis yang hebat. Hal itu juga melibatkannya dalam konflik dengan temannya, Jean-Paul Sartre, memprovokasi perpecahan politik-intelektual utama era Perang Dingin ketika Camus dan Sartre menjadi suara intelektual terkemuka masing-masing dari kiri anti-Komunis dan pro-Komunis.
Lebih lanjut, dalam mengajukan dan menjawab pertanyaan filosofis yang mendesak saat ini, Camus mengartikulasikan kritik terhadap agama dan semua proyeknya, termasuk Marxisme. Pada 1957 Camus memenangkan Hadiah Nobel bidang sastra. Dia meninggal dalam kecelakaan mobil pada Januari 1960, pada usia 46 tahun.