Memori Bahaya Wedhus Gembel dalam Erupsi Gunung Merapi 2010
JAKARTA - Gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi yang paling aktif di Indonesia. Letusannya acap kali ditakuti penduduk setempat. Apalagi awan panas (wedhus gembel) yang membawa kedukaan mendalam. Pada letusan 26 Oktober 2010, misalnya. Wedhus Gembel itu banyak memakan korban jiwa. Termasuk kuncen Merapi, Mbah Maridjan.
Ia menolak untuk dievakuasi demi melaksanakan tugasnya mengabdi pada Merapi. Baginya, letusan bukan ancaman, keserakahan manusia adalah ancaman sesungguhnya.
Peristiwa gunung meletus kerap jadi bencana yang memilukan. Dampaknya besar sekali. Dampak yang bisa dilihat adalah berkutat kepada jatuhnya korban jiwa, ternak mati, atau munculnya wabah. Dampak paling besar adalah hilangnya sebuah peradaban. Bahkan, beberapa kerajaan di Nusantara pernah hilang karena terkena imbas erupsi gunung berapi.
Tingkat kewaspadaan masyarakat yang hidup di lereng pegunungan jadi meningkat. Tingkatan status gunung berapi dianggap hal paling penting untuk mengasa kewaspadaan. Tingkatan itu antara lain, normal, waspada, siaga, hingga awas. Kala status sudah mencapai siaga, apalagi awas, maka sudah waktunya orang-orang yang berada di lereng gunung turun mengungsi. Sebab, nyawa jadi taruhan.
Perihal itu terlihat jelas ketika erupsi Gunung Merapi terjadi pada 26 Oktober 2010. Amuk Merapi dengan tiga letusannya begitu cepat. Bahkan, tak terprediksi. Wedhus Gembelnya terutama. Awan panas itu menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan, Sleman. Akibatnya korban jiwa berjatuhan.
Lebih lagi, karena pada 28 hingga 29 Oktober 2010 amuk Merapi masih dapat menyemburkan awan panas. Sekalipun intensitasnya berkurang. Korban pun berjatuhan. Demikian pula, dengan kerusakan yang dimunculkan, yakni ratusan rumah rusak parah.
“Korban yang tercatat pada letusan 26 Oktober 2010 akhirnya menjadi 40 orang, sedangkan korban meninggal pada letusan 4 November 2010, hingga semalam 64 orang. Dengan demikian, sementara total penduduk yang meninggal 104 orang.”
Setelah meluluhlantakkan kampung Kinahrejo, Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo, pada letusan 26 Oktober, wedhus gembel dan lahar panas Merapi menghancurkan pemukiman di sepanjang aliran Kali Gendol yang menjadi jalurnya. Dari lima desa di Cangkringan, empat di antaranya telah digulung wedhus gembel dan lava panas,” ungkap Irene Sarwindaningrum dan Hariadi Saptono dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul Tanah Air: Perginya Edelweis dari Cangkringan (2010).
Bahaya Wedhus Gembel
Wedhus Gembel adalah gejala alam yang paling menakutkan buat warga di lereng Merapi. Wedhus gembel yang dimaksud bukan berarti kambing berbulu lebat, tapi sebuah julukan untuk awan panas yang kerap muncul setelah letusan merapi.
Bagi sebagian orang di lereng merapi, fenomena awan panas dianggap telah terpetakan pergerakannya. Asumsi itu muncul dari pengalaman hidup berjuang dari letusan sebelumnya. Pangalaman hidup di tengah erupsi membuat kebanyakan orang memilih bertahan di rumahnya.
Mereka menganggap erupsi Merapi takkan mengacam nyawa mereka. Terutama karena kuncen Merapi, Mas Panewu Sukraso Hargo atau Mbah Maridjan ikut bertahan. Secara tak langsung langkahnya diikuti oleh banyak orang.
Bagi Mbah Maridjan letusan Gunung Merapi bukanlah ancaman. Sebab, ancaman sesungguhnya adalah keserakahan manusia. Nafsu akan pembangunan, misalnya. Peringatan untuk segera mengungsi tak dihiraukannya. Ajakan mengungsi bahkan bukan dari orang sembarangan, dari militer hingga Wakil Presiden RI, Boediono.
Mbah Maridjan memilih tinggal. Langkah itu diikuti oleh sebagian penduduk. Namun, kenyataan berkata lain. Alias malang tak dapat ditolak. Pergerakan wedhus gembel Gunung Merapi tak dapat ditebak. Awan panas itu justru mampu menjangkau hingga 15 km. Wedhus Gembel itu menyapu hutan, kebun, hingga pemukiman warga. Akibatnya korban jiwa banyak berjatuhan, temasuk Mbah Maridjan.
“Bagi sebagian penduduk, terutama yang berdiam di sekitar lerengnya, Merapi memang bukan sekadar panorama. Ada kepercayaan tentang garis khayali yang mempertautkan Keraton Merapi dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Keraton Kanjeng Ratu Kidul di Laut Selatan, sebagai bagian dari kosmologi Jawa yang niscaya. Dari perspektif ini, erupsi Merapi sering disiasati sebagai sekadar isyarat alam kepada manusia -- dan dengan sendirinya belum tentu berbahaya. Di dalam perspektif inilah bersetumpu Mas Penewu Surakso Hargo alias Mbah Maridjan sang kuncen.”
“Akhirnya, bala itu tak terelakkan. Dengan kecepatan 100 km per jam, wedhus gembel dengan suhu di atas 600 derajat Celsius itu hanya memerlukan waktu kurang dari dua menit untuk mencapai rumah Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Cangkringan. Sebagian besar korban tewas -- dari seluruhnya 35 orang -- ditemukan di sekitar perumahan itu, termasuk si Mbah dan jurnalis Yuniawan Wahyu Nugroho. Inilah angka korban Merapi terbesar sejak letusan pada 1994 yang merenggut 69 jiwa,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Merapi: Abai Membawa Sangsai (2010).
Baca juga:
- Sejarah Hari Ini 4 Juli 1927: Pendirian Partai Nasional Indonesia Sebagai Kendaraan Politik Soekarno
- Sejarah Hari Bhayangkara: Reputasi Pasukan Elite Kerajaan Majapahit Menjadi Inspirasi
- Sejarah Olahraga Dunia, 30 Juni 1966: Hari Lahir Mike Tyson, Petinju Paling Kontroversial di Era Modern
- Hari Keluarga Nasional Diinisiasi Presiden Soeharto pada 29 Juni 1993