Kualitas Udara Tidak Sehat di Jakarta Masih Berlanjut Hingga Kini

JAKARTA - Pemerintah sudah membolehkan masyarakat melepas masker di area terbuka mulai 17 Mei 2022, seiring melandainya kasus positif COVID-19 di Tanah Air. Namun, kabar baik itu sepertinya masih harus ditahan dulu. Khususnya bagi masyarakat di kota-kota besar salah satunya Jakarta dan sekitarnya.

Alasannya, kualitas udara beberapa minggu terakhir di Jakarta menunjukkan kategori tidak sehat sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia.

Lembaga data kualitas udara, IQ Air menempatkan Jakarta di posisi pertama sebagai kota dengan kualitas udara tidak sehat atau yang terburuk pada Rabu, 15 Juni 2022. IQ Air mencatat indeks kualitas udara di Ibu Kota saat itu mencapai 188 atau masuk kategori tidak sehat.

Adapun kategori kualitas udara tidak sehat berada pada rentang indeks 151 hingga 200 berdasarkan IQ Air. Sedangkan konsentrasi polutan Partikulat Matter (PM) 2.5 tercatat mencapai 25,4 kali di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kualitas udara tidak sehat bahkan masih berlanjut pada Sabtu, 2 Juli 2022 hingga pukul 13.25 WIB, indeks polusi udara di Jakarta mencapai 166 dan kembali menduduki posisi pertama polusi udara terburuk di dunia.

Di bawahnya ada New Delhi, India dengan indeks 165 dan Tehran, Iran dengan indeks 154. Kualitas udara tidak sehat di Jakarta bukan yang pertama kali terjadi.

Setidaknya IQ Air mencatat data kualitas udara Jakarta pada 2017 mengalami peningkatan dengan rata-rata mencapai 29,7 mikrogram per meter kubik.

Kemudian pada 2018 berlipat ganda menjadi rata-rata 45,3 mikrogram per meter kubik dan pada 2019 kembali naik menjadi 49,4 mikrogram per meter kubik.

Kualitas udara di Jakarta rata-rata pada 2020 kemudian menurun menjadi 39,6 mikrogram per meter kubik seiring pembatasan kegiatan masyarakat karena pandemi COVID-19.

Apa penyebabnya?

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan menurunnya kualitas udara di wilayah Jakarta disebabkan kombinasi sumber emisi dari kontributor polusi udara dan faktor meteorologi yang menyebabkan terakumulasinya konsentrasi PM2.5.

PM2.5 merupakan salah satu polutan udara dalam wujud partikel dengan ukuran yang sangat kecil, yaitu tidak lebih dari 2,5 mikro gram per meter kubik.

Hasil pantauan konsentrasi PM2.5 oleh BMKG di Kemayoran, Jakarta menunjukkan kecenderungan peningkatan pada waktu dini hari hingga pagi dan menurun di siang hingga sore hari.

Adapun nilai ambang batas (NAB) konsentrasi PM2.5 adalah sebesar 65 mikrogram per meter kubik, di bawah nilai tersebut yaitu antara 15-65 mikrogram per meter kubik, polusi udara berada pada tingkat sedang dan nilai konsentrasi pada 0-15 mikrogram per meter kubik berada pada kategori baik.

Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi polusi udara di Jakarta yakni sumber emisi di antaranya berasal dari sumber lokal.

Misalnya, transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta.

Emisi ini dalam kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh parameter meteorologi, dapat terakumulasi dan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi PM 2.5.

Kemudian, proses pergerakan polutan udara seperti PM2.5 dipengaruhi oleh pola angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain.

Selanjutnya, BMKG mencatat peningkatan konsentrasi PM2.5 memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan kadar uap air di udara yang dinyatakan oleh parameter kelembapan udara relatif.

Tingginya kelembapan udara, menyebabkan peningkatan proses penyerapan yang merujuk perubahan wujud dari gas menjadi partikel. Proses ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi PM2.5 yang difasilitasi oleh kadar air di udara.

Penyebab lain, BMKG mencatat kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan.

Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.

Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat pemantauan.

Selain itu, adanya stagnasi pergerakan udara yang menyebabkan polutan udara tidak beranjak dan berimbas pada kondisi yang cenderung bertahan lama.

Kondisi stagnasi udara ditandai oleh kecepatan angin rendah yang tidak hanya berimbas pada akumulasi PM2.5, tetapi juga dapat memicu produksi polutan udara lain seperti ozon permukaan (O3), yang keberadaannya dapat diindikasikan dari penurunan jarak pandang.

Tingginya kelembaban udara di wilayah DKI Jakarta terkonfirmasi dengan data BMKG yang menunjukkan rentang kelembaban hingga Senin (4/7) mencapai maksimum 100 persen.

Harapan hidup

Dengan ukuran polutan PM 2.5 yang sangat kecil ini, partikel itu dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan dan dapat menyebabkan gangguan infeksi saluran pernapasan dan gangguan pada paru-paru dalam jangka waktu yang panjang.

Selain itu, PM2.5 dapat menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh tubuh yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner.

Dampak yang berbahaya bagi kesehatan tubuh tersebut turut mendorong lembaga riset internasional melakukan kajian terkait harapan hidup warga di kota besar dunia termasuk di Jakarta.

Laporan Air Quality Life Index (AQLI) yang dikembangkan Institut Kebijakan Energi dari Universitas Chicago, Amerika Serikat merilis angka harapan hidup terkait dampak polusi udara.

Berdasarkan laporan global terbaru pada Juni 2022, AQLI mengungkapkan polusi udara salah satunya di Jakarta mendorong penduduknya kehilangan tiga hingga empat tahun harapan hidup pada 2020.

"Area paling berpolusi pada 2020 adalah di sekitar kota Mandalay, Hanoi dan Jakarta yang penduduknya kehilangan tiga hingga empat tahun harapan hidup," tulis laporan AQLI.

Meski begitu, dalam laporan itu disebutkan Jakarta dan daerah sekitar meliputi Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang (Jabodetabek), mencatat konsentrasi PM 2.5 rata-rata tahunan menurun sebesar 16 persen pada 2020 menjadi 30,1 mikrogram per meter kubik.

Apabila secara permanen konsentrasi PM 2.5 dapat diturunkan, diperkirakan potensi harapan hidup sekitar 29 juta warga Jabodetabek bisa bertambah 2,5 tahun pada 2020.

Upaya Jakarta

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan beragam upaya mengurangi polusi udara di Ibu Kota di antaranya menambah jumlah ruang terbuka hijau.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan selama lebih dari tiga tahun sudah dilakukan revitalisasi 296 taman kota, 29 hutan kota dan 154 jalur hijau.

Dukungan dari masyarakat juga diperlukan dengan mengajak mereka menggunakan transportasi umum.

Sebagai dampaknya, warga akan lebih banyak berjalan kaki menuju stasiun atau halte sehingga fasilitas trotoar juga dibangun dan diperbaiki.

Anies menyebut kurang dari empat tahun pemerintahannya sebanyak 341 kilometer trotoar sudah dibangun.

Tak hanya itu, selama 2022 Pemprov DKI berencana membangun 195,6 kilometer jalur sepeda dari target tahun ini mencapai 250 kilometer.

Senada dengan Anies, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan untuk program penanganan polusi, pihaknya juga melakukan pembenahan transportasi di DKI Jakarta meliputi menambah armada bus listrik.

Saat ini, BUMD DKI Jakarta, TransJakarta sudah menggunakan armada bus listrik mencapai 30 unit dan ditargetkan hingga akhir 2022 sudah ada 100 unit bus listrik.

Selain itu, ada juga kebijakan pengurangan kendaraan dengan sistem ganjil genap dan kewajiban uji emisi bagi kendaraan bermotor hingga pemberian sanksi sampai pencabutan izin bagi perusahaan yang terbukti melakukan pencemaran lingkungan.

Lintas wilayah

Penanganan polusi udara sejatinya bukan urusan DKI Jakarta semata, namun sudah lintas wilayah.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Ibu Kota menyebut polusi udara di Jakarta merupakan permasalahan lintas batas yang harus lebih cepat dikendalikan bersama.

Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah mengatakan sumber pencemar udara dari luar Jakarta, terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.

Dalam kondisi seperti itu, lanjut dia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) harus menjalankan kewajibannya melakukan pengawasan dan supervisi terhadap Gubernur Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Pengawasan dan supervisi itu untuk melakukan upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing.

Dia meminta baku mutu emisi baik untuk kendaraan bermotor maupun untuk industri seperti pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil harus diperketat.

Senada dengan Fajri, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menilai penyebab utama polusi udara adalah masih ada sumber pencemar udara baik bergerak dan tidak bergerak.

Ia menilai sumber pencemar itu terbukti belum bisa dikendalikan maksimal melalui kebijakan yang seharusnya diambil oleh pemerintah. Kenyataannya memang saat ini polusi udara masih terjadi di Jakarta dan sekitarnya.

Untuk itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengajak warga Ibu Kota menggunakan masker khususnya ketika berada di luar ruangan/rumah untuk mengantisipasi polusi udara.

"Kalaupun harus keluar rumah gunakan selalu masker karena kualitas udara di Jakarta sedang kurang bagus," ucap Asep Kuswanto.