Jaksa Kasus Korupsi Proyek ICU RSUD Lombok Sebut Eks Dirreskrimsus Polda NTB
JAKARTA - Bekas Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Nusa Tenggara Barat, Syamsudin Baharuddin muncul dalam uraian dakwaan milik empat terdakwa korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara.
Nama Syamsudin keluar ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fajar Alamsyah Malo menguraikan munculnya PT Apro Megatama sebagai pemenang lelang paket pekerjaan di tahun 2019 tersebut.
"Setelah PT Apro Megatama diumumkan sebagai pemenang lelang paket pekerjaan, saksi Benny Burhanuddin dihubungi oleh orang yang mengaku bernama Syamsudin yang menjabat sebagai Dirreskrimsus Polda NTB, yang saat itu mengaku sedang bersama saksi Lalu Majemuk," kata Fajar ke hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Kamis 9 Juni dikutip dari Antara.
Lalu Majemuk dalam uraian dakwaan dijelaskan sebagai Kepala Bagian Administrasi Pengendalian Pembangunan dan Layanan Pengadaan pada Sekretariat Daerah Kabupaten Lombok Utara.
Sedangkan Benny Burhanuddin merupakan pihak yang mendapatkan kuasa dari Direktur PT Apro Megatama Amin Karaka, untuk ikut dalam penawaran paket lelang dari proyek tersebut. Namun Benny tidak terjun langsung, melainkan memerintahkan stafnya bernama Rahmat Hidayat.
Dalam komunikasi dengan Burhanuddin sebagai penerima kuasa dari PT Apro Megatama, lanjut Fajar, Syamsudin meminta agar proyek paket proyek tersebut dikerjakan oleh orangnya.
"Namun oleh saksi Benny Burhanuddin, menanggapi dengan mengarahkan untuk menghubungi staf-nya, yakni Rahmat Hidayat," ujarnya.
Dengan adanya arahan tersebut, Rahmat dihubungi oleh Lalu Majemuk dan diminta untuk bertemu di Kota Mataram.
Dalam pertemuannya, Majemuk memperkenalkan seorang pria bernama Syahid yang mengaku adik dari Syamsudin. Kepada Rahmat, Syahid meminta langsung untuk mengerjakan proyek tersebut.
Usia mendengar permintaan Syahid yang mengaku adik dari Mantan Dirreskrimsus Polda NTB tersebut, Rahmat mendapat perintah dari Benny Burhanuddin untuk mengantarkan Syahid bertemu langsung dengan Direktur PT Apro Megatama Amin Karaka di Makassar. Syahid bertemu dengan Amin Karaka didampingi Majemuk.
"Dari pertemuan di Makassar, Amin Karaka sebagai Direktur PT Apro Megatama memberikan kuasa direktur kepada Syahid, yang selanjutnya dituangkan dalam sebuah akta notaris," ucap dia.
Dengan adanya pemberian kuasa tersebut, Syahid kemudian melaksanakan penandatanganan kontrak kerja dengan pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek, Zaeni.
Penandatanganan kontrak itu menyepakati paket pekerjaan terlaksana selama 120 hari kerja terhitung sejak 21 Agustus 2019 hingga 18 Desember 2019, dengan nilai kontrak sesuai harga penawaran PT Apro Megatama, Rp6,4 miliar.
"Dalam penandatanganan kontrak itu, PT Apro Megatama tetap mengatasnamakan Amin Karaka sebagai direktur penyedia paket pekerjaan, namun oleh Syahid, tanda tangan Amin Karaka dipalsukan untuk seterusnya demikian," kata Fajar.
Tujuh pekan berjalan, proyek menunjukkan 4,1 persen progres pekerjaan. Jauh dari target 15,1 persen. Zaeni sebagai PPK merespon hal itu dengan memberikan surat teguran kepada Direktur PT Apro Megatama.
Tak berselang lama di tengah pekerjaan, Zaeni mengundurkan diri sebagai PPK karena alasan banyak pendampingan proyek lainnya.
Syamsul Hidayat sebagai Direktur RSUD Lombok Utara sekaligus kuasa pengguna anggaran (KPA) menunjuk E Bakri sebagai pengganti Zaeni untuk menjabat PPK proyek.
Selain adanya pergantian PPK, Syamsul Hidayat mengambil kebijakan untuk membuat adenddum kontrak dengan PT Apro Megatama. Dalam adenddum tersebut, Syamsul Hidayat mengganti kuasa PT Apro Megatama dari Syahid kepada orang yang dia kenal, Darsito. Pergantian itu pun dilaksanakan di hadapan notaris.
Usai pergantian, pekerjaan menunjukkan progres yang cukup signifikan. Namun mendekati habisnya masa kontrak kerja, Syamsul Hidayat membuat adenddum kedua, yakni melakukan perpanjangan 50 hari untuk pekerjaan proyek.
"Perpanjangan waktu pelaksanaan proyek ditambah 50 hari kalender kerja sehingga menjadi 170 hari terhitung sampai 6 Februari 2020," kata Fajar.
Hingga mendekati masa akhir pekerjaan, proyek dilaporkan menunjukkan progres yang cukup signifikan. Hal itu pun sesuai yang dilaporkan konsultan pengawas dari CV Citra Pandu Utama. Pencairan anggaran pun dilakukan hingga termin ke empat.
Kerugian negara
Pada 13 Februari 2020 dalam agenda serah terima pekerjaan sementara, panitia pemeriksa hasil pekerjaan (PPHP) menemukan adanya kekurangan volume pekerjaan.
"Dalam berita acara pemeriksaan atau penelitian penyerahan tahap satu pada 13 Februari 2020, terhadap kekurangan volume pekerjaan proyek disimpulkan untuk diperbaiki atau disempurnakan dalam jangka waktu tiga hari kalender kerja, mulai 14 Februari hingga 17 Februari 2020," kata Ema Muliawati menggantikan Fajar dalam membacakan dakwaan.
Dari laporan lanjutan tanggal 17 Februari 2020, lanjut Ema, kekurangan volume pekerjaan telah disimpulkan sudah diperbaiki dan disempurnakan sehingga dilakukan serah terima pekerjaan dari PT Apro Megatama kepada pemerintah.
Namun dari hasil penelusuran terungkap kurangnya volume pekerjaan itu tidak dikerjakan. Melainkan laporan yang menyatakan PT Apro Megatama sudah melakukan perbaikan itu hasil rekayasa PPK, E Bakri.
Hal itu pun diperkuat dengan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB untuk pemeriksaan pengelolaan APBD tahun 2019 pada RSUD Lombok Utara.
"Hasil pemeriksaan proyek, ditemukan adanya kekurangan volume pekerjaan senilai Rp212 juta," ucap dia.
Dari temuan BPK ini, pihak kejaksaan mengambil langkah pengumpulan data dan bahan keterangan dengan meminta analisa ahli dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) NTB.
"Hasil temuan BPK RI terhadap pelaksanaan proyek, penyidik meminta ke Dinas PUPR NTB melakukan pemeriksaan fisik secara detail," katanya.
Dari hasil pemeriksaan ahli, lanjut dia, ditemukan ada sejumlah jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi.
"Seperti spesifikasi vinyl, dudukan lampu operasi, dan ada beberapa jenis barang yang kemahalan harga," ujar Ema.
Dengan uraian dakwaan demikian, jaksa penuntut umum menyatakan Syamsul Hidayat sebagai KPA; E Bakri, sebagai PPK; Darsito, sebagai penerima kuasa PT Apro Megatama; dan Sulaksono, Direktur CV Citra Pandu Utama, telah bersama-sama melakukan perbuatan yang mengakibatkan timbulnya kerugian negara sesuai hasil hitung Inspektorat NTB senilai Rp1,557 miliar.
Dalam dakwaan, ke empat terdakwa yang dihadirkan sekaligus dalam gelaran sidang perdana tersebut didakwa dengan Pasal 2 dan atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.