Sudahkah Konsumen Terlindungi dalam Pengggunaan Air Minum Dalam Kemasan?
JAKARTA - Rita Endang, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Badan POM mengatakan, pihaknya melakukan perlindungan masyarakat dari potensi bahaya produk BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK). Rita mengatakan, isu BPA bukan merupakan isu lokal, dan bukan pula isu nasional saja, melainkan sudah menjadi isu internasional.
"Jadi, BPA merupakan isu global. Beberapa negara sudah meregulasi dan melakukan pelabelan BPA pada AMDK," ujar Rita dalam webinar yang disiarkan secara langsung pada kanal Youtube GATRA TV, dikutip Jumat 3 Juni.
Maka itu, dipaparkan oleh Rita, Indonesia tentu saja juga perlu melakukan berbagai upaya untuk melakukan pelabelan pada AMDK dengan melakukan revisi peraturan Badan POM Nomor 31 Tahun 2018.
Sejauh ini Rita merasa sudah melakukan berbagai macam upaya sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Badan POM.
"Kewenangan Badan POM sudah sangat jelas, bagaimana melakukan upaya tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu sesuai dengan UU Nomor Tahun 2012 Tentang Pangan, dan Perpres Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan sesuai dengan Tupoksi Badan POM," ujar Rita.
Rita mengatakan, BPA pada AMDK menjadi kajian penting dan prioritas untuk menjadi label pada AMDK. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Badan POM.
Pertama, air merupakan kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup manusia dan dikonsumsi oleh seluruh kelompok usia. Kedua, volume produksi AMDK cukup besar, yakni ada sebanyak 21 miliar liter per tahun, atau sebanyak 70 persen volume produksi AMDK per tahun.
Ketiga, Jumlah konsumen AMDK galon ada sebanyak lebih dari 50 juta orang atau 18 persen dari populasi Indonesia pada 2020. Keempat, AMDK merupakan produk terbanyak yang terdaftar di Indonesia, dan sebanyak 96,4 persen dari produk AMDK galon menggunakan plastik polikarbonat.
Sementara bagi Ujang Solihin Sidik Kasubdit Tata Kelola Produsen, Direktorat Pengurangan Sampah, KLHK memaparkan soal dampak terhhadap AMDK pada lingkungan.
"Berbicara dampak pada lingkungan pada akhirnya tentu saja akan berdampak juga pada kesehatan," kata Ujang Solihin Sidik.
Baca juga:
"Secara global dan juga berlaku di Indonesia ada sejumlah tanangan dan perhatian bagi kita semua. Ternyata, dari sampah kemasan menjadi persoalan. Pada Studi atau riset, kemasan plastik khususnya AMDK adalah dari minyak bumi, kita melihat bagaimana eksploitasi minyak bumi semakin banyak. Tak hanya untuk bijih plastik namun juga kita melihat ekploitasinya juga sangat meningkat. Dan sebagaiman kita ketahui minyak bumi jumlahnya semakin terbatas dan tidak bisa diperbarui," paparnya.
Sebagaimana diketahui, kemasan plastik yang paling populer digunakan adalah Polyethylene Terephthalate (PET), High Density Polyethylene (HDPE), Low-Density Polyethylene (LDPE), dan Polycarbonate (PC) yang merupakan jenis plastik yang sangat umum digunakan pada kemasan makanan, khususnya pada AMDK.
Dari ekstraksi sumber daya alam yang digunakan menjadi kemasan plastik yang didaur ulang menjadi botol minuman kembali, jumlahnya masih sangat kecil. Sidik menekankan pentingnya Circular Economy dimana pendaurulangan produk plastik menjadi bahan berdayaguna kembali adalah jawaban yang tepat dan menguntungkan secara ekonomi.
"Sebagian besar kemasan plastik yang kembali dapat didaur ulang adalah jenis PET," tuturnya.