Di Mana Condet yang Hijau, Berbudaya, dan Menghidupi?
JAKARTA - Condet artinya adalah sebuah kampung yang secara toponimi berasal dari nama anak Sungai Ciliwung: Ci Ondet. Ondet, ondeh atau ondeh-ondeh diambil dari nama pohon yang secara ilmiah bernama Antidesma diandrum Sprg, termasuk dalam famili Antidesmaeae. Penduduk asli menyebutnya Pohon Buni yang berarti buahnya dapat dimakan.
Soal sejarah, asal-usul Cawang dibahas oleh Rachmat Ruchiat dalam buku Asal Usul Nama Tempat di Jakarta. Dalam buku tersebut, diungkap tiga data tertulis terkait sejarah Condet. Pertama, berasal dari catatan perjalanan Abraham Van Riebek kala menjadi Direktur Jenderal VOC di Batavia, tepat sebelum dirinya menjadi Gubernur Jenderal.
Dalam catatan berbahasa Belanda, tertulis tanggal 24 September 1709, ia dan rombongan berjalan melalui anak sungai Ci Ondet. Buku itu bercerita tentang perjalanan Van Riebek dari Paroeng Combale, Ratudjaja, Depok, Sringsing hingga hulu Ci Ondet. "Over Mjin lant Paroeng Combale, Ratudjaja, Depok, Sringsing, naar het hoodft van de spruijt tsji Ondet."
Kedua, isi surat wasiat dari Pangeran Purbaya yang dibuat sebelum berangkat ke pembuangan di Negapatnam, India. Tercatat, surat tersebut disahkan oleh Notaris Reguleth tertanggal 25 April 1716. Isinya tertulis, antara lain bahwa pangeran Purbaya menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggal.
Ketiga, resolusi pimpinan kompeni di Batavia tertanggal 8 Juni 1753, yaitu keputusan tentang penjualan tanah di Condet seluas 816 morgen (± 52.530 ha), seharga 800 ringgit kepada Diederik Willem Freijer. Kemudian kawasan Condet menjadi bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur).
Dikutip dari Sejarah Jakarta, G.J Nawi dalam tulisannya Dari Ci Ondet, Groneveld sampai Condet menjelaskan, pada abad ke-18, Condet disebut orang Belanda sebagai Groneveld yang berarti tanah atau lahan yang hijau. Nama itu muncul dari lingkungan sekitar yang masih dipenuhi pohon dan rambut hijau yang luas bagai permadani hijau di kaki langit.
“Pemberian nama Groeneveld ini tidak terlepas dari ide Johannes Jacobus Craan sebagai pemilik ketiga Landhuis --rumah peristirahatan-- Tandjong Oost dengan sebutan Landhuis Groeneveld,” tulis G.J Nawi.
Bahkan, pada zaman Ali Sadikin menjadi gubernur, nuansa kemasyhuran Condet dikukuhkan menjadi Cagar Budaya Betawi melalui SK Gubernur lantaran kala itu keasrian alam Condet masih utuh, dipenuhi kebun buah-buahan. Selain itu, demografi Condet masih didominasi orang Betawi hingga 90 persen. Kentalnya kehidupan religi bernuansa Islam memperkuat keterikatan Condet dengan Betawi.
Selama kepemimpin Ali Sadikin, Condet menjelma jadi kawasan yang maju. Hal itu didukung penuh oleh kucuran dana yang terus mengalir dari kas Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama. Pergantian gubernur, berubahnya kebijakan, hingga populasi orang Betawi yang semakin berkurang jadi penyebab lunturnya keaslian Condet.
Condet hari ini
Secara administratif, Condet hari ini dibagi dalam tiga wilayah kelurahan: Batu Ampar, Kampung Tengah --disebut Kampung Gedong, dan Bale Kambang. Ketiganya masuk dalam wilayah Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur.
Condet hari ini tak berbeda jauh dengan wilayah Jakarta lain yang memiliki tiga ciri identik: padat dan semrawut, macet, dan rentan banjir. Ciri padatnya Condet dapat dilihat dari pembangunan yang masif. Condet dalam sejarah padahal kerap disebut sebagai permadani hijau.
Untuk kemacetan, banyaknya pendatang yang menghuni condet hari ini membuat kawasan menjadi padat. Pada hari-hari sibuk, terutama. Hal ini dapat juga dikaitkan dengan hijaunya Condet yang kini --akibat kemacetan-- justru berkontribusi besar pada memburuknya kualitas udara di Jakarta.
Ciri Condet sebagai wilayah banjir jelas tak terbantahkan. Setiap musim penghujan, Condet jadi wilayah yang hampir pasti direndam banjir lantaran daya tampung dan daya dukung lingkungan yang mengalami kemerosotan serius.
Terbukti, seperti dilansir Kumparan, Condet --tepatnya di Kampung Tengah-- mengalami kebanjiran pada awal 2020 lalu. Banjir ini merendam setidaknya 5 RT dan 2 RW dengan ketinggian air mencapai dada orang dewasa. Kondisi ini membuat warga segera mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
Menyelamatkan Condet
Wajah Condet harus diselamatkan. Jika dibiarkan hanyut dalam pembangunan tak terkendali, Condet tak hanya akan kehilangan status Cagar Budaya Betawinya, tapi juga akan kehilangan eksistensi sebagai wilayah yang mampu memberi kehidupan bagi banyak orang. Dalam kondisi seperti ini, melihat akar sejarah jadi penting. Kembali pada nilai lama sebuah daerah barangkali bisa jadi solusi.
Jika Pemprov DKI Jakarta bingung mencari dalih, maka sambutan Ali Sadikin dalam buku Condet Cagar Budaya Betawi karya Ran Ramelan, dapat menjadi acuan:
Untuk mengejar persyaratan sebagai kota metropolitan pembangunan tidak perlu melenyapkan nilai-nilai lama yang telah ada. Planologi mesti memperkatikkan nilai sosio-kultural. Kalau tidak, maka hasil pembangunan yang kita capai tidaklah berakar pada bumi di mana kita berpijak.
Selain itu, Pemprov DKI perlu melibatkan masyarakat dalam tingkat perencanaan pemulihan lingkungan sembari memberikan edukasi berbentuk kebanggaan akan kawasannya. Ketika sudah bangga, maka akan ada rasa memiliki. Dari rasa memiliki kemudian muncul keinginan untuk melindungi eksistensi Condet sebagai wilayah yang hidup.
Akhir kata, semoga sepenggal puisi dari W.S Rendra berjudul Ciliwung yang Manis (1955) dapat mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lingkungan:
Ciliwung mengalir
dan menyindir gedung-gedung kota Jakarta
kerna tiada bagai kota yang papa itu
ia tahu siapa bundanya
Ciliwung bagai lidah terjulur
Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya..