Peringatan Hari Anti Hukuman Mati, Seruan Manusia Berhak Hidup Terlepas dari Kejahatannya
JAKARTA - Hari ini, 10 Oktober, merupakan peringatan Hari Anti Hukuman Mati Dunia. Adanya peringatan Hari Anti Hukuman Mati berasal dari organisasi-organisasi anti hukuman mati dan hak asasi manusia yang melihat lebih banyak kekejaman daripada kebaikan.
Mereka mengimbau dunia agar menolak penggunaan hukuman mati dalam segala keadaan dan menyerukan penghapusan hukuman mati secara universal.
Dikutip dari Death Penalty Information, undang-undang hukuman mati pertama kali dibuat sejak abad ke-18 SM. dalam Kode Raja Hammurabi dari Babilonia mengatur hukuman mati untuk 25 kejahatan yang berbeda. Hukuman mati juga merupakan bagian dari Kode Het abad keempat belas SM.
Pada Kode Hukum Draco Abad Ketujuh SM, menunjukkan bahwa kematian satu-satunya hukuman untuk semua kejahatan; dan juga ada di Hukum Romawi pada Abad Kelima SM. Hukuman mati dilakukan dengan cara penyaliban, ditenggelamkan, dipukul sampai mati, dibakar hidup-hidup, dan dipantek.
Pada abad kesepuluh Masehi, hukuman gantung menjadi metode eksekusi yang biasa di Inggris. Pada abad berikutnya, William the Conqueror tidak mengizinkan orang digantung atau dieksekusi karena kejahatan apa pun, kecuali pada saat perang.
Tren ini tidak bertahan lama, karena pada abad ke-16, di bawah pemerintahan Henry VIII, diperkirakan sebanyak 72.000 orang telah dieksekusi. Beberapa metode eksekusi yang umum pada waktu itu adalah direbus, dibakar, digantung, dipenggal, dan dipotong.
Eksekusi dilakukan untuk pelanggaran berat seperti menikah dengan seorang Yahudi, tidak mengaku melakukan kejahatan, dan pengkhianatan.
Jumlah kejahatan besar di Inggris terus meningkat selama dua abad berikutnya. Pada 1700-an, 222 kejahatan dapat dihukum mati di Inggris, termasuk mencuri, menebang pohon, dan merampok kelinci.
Karena beratnya hukuman mati, banyak juri tidak akan menghukum terdakwa jika pelanggarannya tidak serius. Hal ini menyebabkan reformasi hukuman mati di Inggris. Dari 1823 hingga 1837, hukuman mati dihapuskan untuk lebih dari 100 dari 222 kejahatan yang dapat dihukum mati.
Baca juga:
Tidak Efektif dan Harus Dihapus
Menurut data dari Dewan Eropa, penggunaan hukuman mati di berbagai negara telah menurun dan menegaskan tren keseluruhan menuju penghapusan universal. Pada 2019, untuk tahun kedua berturut-turut, eksekusi dilakukan hanya di 20 negara di seluruh dunia. angka tersebut merupakan rekor terendah dalam sejarah, tetapi tetap saja 20 negara terlalu banyak.
Koalisi Dunia Melawan Hukuman Mati mengungkapkan pelaku kejahatan harus dimintai pertanggungjawaban dan dihukum. Namun, pengalaman negara-negara abolisionis menunjukkan hukuman mati tidak menghalangi kejahatan dengan kekerasan atau berkontribusi untuk masyarakat yang lebih aman. Sebaliknya, pembunuhan sebagai hukuman melanggengkan siklus kekerasan yang tidak masuk akal.
Banyak negara Eropa yang telah menghapuskan hukuman mati karena selain merenggut hak asasi manusia, juga tidak efektif. Belarusia adalah negara Eropa satu-satunya yang masih melaksanakan eksekusi mati. Dewan Uni Eropa terus mendesak Belarusia untuk menghapus hukuman mati dan bergabung dengan sebagian besar negara yang telah meninggalkan praktik kejam dan tidak manusiawi ini untuk selamanya.
Selain negara di Eropa, Iran juga tengah mengkampanyekan anti hukuman mati. Reporters Without Borders (RSF) yang berbasis di Paris dan Pusat Pembela Hak Asasi Manusia Iran (DHRC) meluncurkan kampanye menggunakan tagar #notoexecution di media sosial untuk "menyelamatkan nyawa jurnalis Iran dan tahanan lainnya."
Dalam laporan yang diterbitkan pada 8 Oktober, Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH), yang juga berbasis di Paris, mengatakan Iran mengeksekusi sedikitnya 251 orang pada 2020 dan 190 lainnya dalam sembilan bulan pertama 2020. FIDH mengatakan banyak dari hukuman mati telah dieksekusi tanpa prosedur hukum yang diperlukan dan mematuhi standar yang adil.
FIDH menjelaskan, hukum pidana Islam Iran mengatur hukuman mati untuk banyak kejahatan. Beberapa pidana mati mengarah kepada wanita, anggota komunitas LGBT, dan etnis minoritas negara termasuk Kurdi, Arab, dan Baloch, serta agama minoritas seperti Muslim Sunni dan Baha'i. Semua hukuman dianggap sebagai penindasan terhadap minoritas dan jauh dari kata adil.
“Orang Iran telah berjuang selama bertahun-tahun agar hukuman mati dihapus dari hukum pidana. Sekarang sangat mendesak bagi komunitas internasional untuk datang membantu mereka," kata Presiden DHRC Shirin Ebadi.