Sebut Penggunaan Teknologi CCUS di Indonesia Sulit Direalisasikan, IEEFA: di Negara Maju Saja Penerapannya Masih Minim

JAKARTA - Laporan terbaru yang diterbitkan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyebutkan, hingga saat ini tidak ada faktor pendorong yang tepat untuk mengimplementasikan teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture, Utilizaton, and Storage (CCUS) di kawasan Asia Tenggara.

Putra Adhiguna, penulis laporan ini sekaligus analis energi IEEFA mengungkapkan, untuk mengembangkan CCUS, dibutuhkan valuasi emisi karbon, dukungan dana publik, dan dorongan pasar, beberapa hal yang sulit didapatkan di negara-negara Asia Tenggara.

"Di kawasan ini, termasuk di Indonesia, proyek CCUS yang dikembangkan terfokus pada produksi gas, dan bukan pembangkit listrik," ujarnya dalam diskusi Membedah Nilai Keekonomian Teknologi Penyimpanan Karbon untuk Sektor Energi, Selasa 26 April.

Ia menambahkan, pemerintah masih harus melakukan kalkulasi untuk tidak terlalu menggantungkan harapan kepada penerapan CCS/CCUS pada sektor ketenagalistrikan karena berbagai kendala komersil yang dihadapi sangat mungkin akan menghambat pengembangannya.

"Penerapannya di berbagai negara maju masih sangat minim, terlebih lagi untuk pasar yang sensitif terhadap harga dengan standar kontrol emisi yang tidak terlampau ketat seperti di Indonesia," bebernya.

Ia melanjutkan, CCUS bisa berjalan ketika ditempatkan pada konteks operasional tertentu, misal pada negara dengan harga karbon tinggi dan regulasi yang ketat terhadap emisi.

"Selain Singapura, hampir tidak ada harga karbon yang signifikan di pasar Asia Tenggara, sementara CCUS intinya memberlakukan 'pajak' untuk terus mengeluarkan emisi," kata Putra.

Selain soal harga, lanjutnya, topik utama lain yang mendominasi diskusi mengenai CCUS di Asia Tenggara adalah soal penerapannya dalam memproses gas. Saat ini, kapasitas global CCUS sekitar 40 juta ton per tahun (millon tonnes per annum/MTPA) CO2 tertangkap, kurang lebih sama dengan emisi dari PLTU batu bara berkapasitas 7GW setiap tahun.

Pada lebih dari 70 persen fasilitas CCUS yang ada, CO2 yang ditangkap digunakan untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi.

Menurut laporan IEEFA, 75 persen rencana proyek CCUS di Asia Tenggara bertujuan untuk menangkap CO2 berlebih dari pemrosesan gas yang terbawa ketika gas diproduksi. Keunikan CCUS yakni kemampuannya untuk dipasang (retrofitted) pada aset kelistrikan dan industri yang telah beroperasi.

"Namun, ketika masyarakat tengah membayangkan pembangkit listrik berbasis batu bara atau gas dengan sedikit atau bahkan tanpa emisi, perencanaan yang ada saat ini berjalan ke arah berlainan," tutur Putra.

Ia melanjutkan, sebanyak lebih dari 60 persen kapasitas CCUS global digunakan untuk pemrosesan gas, bukan untuk pembangkit listrik. Bahkan saat ini, hanya ada satu CCUS untuk pembangkit listrik batu bara yang beroperasi di dunia tidak satu pun untuk pembangkit listrik berbahan bakar gas.

CCUS untuk pemrosesan gas telah diimplementasikan sejak 1970-an dan menelan biaya yang jauh lebih rendah dari CCUS pembangkit listrik.

"Yang tengah terjadi di Asia Tenggara lebih berupa mengejar ketertinggalan tren yang telah ada, terlebih karena banyaknya cadangan gas yang kaya CO2 di wilayah tersebut. Hal ini kemungkinan untuk mengantisipasi potensi perubahan sikap pasar global terhadap gas yang kaya CO2," katanya.

Menurut Putra, dengan sumber pendanaan publik yang terbatas, pada akhirnya CCUS adalah perkara prioritas, mengingat tantangan mengenai biaya yang dihadapi, sebagaimana ditekankan dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) April 2022.

"Negara-negara Asia Tenggara dapat menggunakan CCUS untuk mengantisipasi perkembangan produk berbasis penangkapan karbon di masa depan. Tetapi, CCUS seharusnya tidak mengalihkan kita dari implementasi opsi lain yang lebih murah dan terbukti mengurangi emisi karbon, yaitu energi terbarukan dan integrasi jaringan listrik, yang harus tetap menjadi pusat perhatian menuju dekarbonisasi," bebernya.

Ia juga mengingatkan untuk berhati-hati dalam menggantungkan harapan pada CCUS untuk ketenagalistrikan di masa depan, karena perkembangannya mungkin tidak akan mencapai tingkat yang mudah diadopsi untuk sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara.