BLT Jadi Jalan Ninja SBY Redam Amarah Rakyat Soal Kenaikan Harga BBM Tahun 2005

JAKARTA - Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dua kali pada (Maret dan Oktober) 2005 begitu diingat. Segenap rakyat Indonesia terpukul karenanya. Kenaikan BBM memaksa harga barang lainnya ikutan naik. Rakyat terancam jatuh dalam kubangan kemiskinan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tak tinggal diam. Kompensasi BBM yang lazim dikenal Bantuan Langsung Tunai (BLT) jadi ajian. Program itu dianggap juru selamat. Namun, realita menjawab sebaliknya. BLT bukan solusi efektif.

Kondisi perekonomian Indonesia saat awal masa Pemerintahan Presiden SBY tidak sedang baik-baik saja. Harga minyak dunia yang mencapai 150 dolar AS per barel jadi muasalnya. Agenda penyelamatan pun didengungkan. Sebab, bertahan dengan keputusan tidak menaikkan BBM bukan dinilai sebagai jalan keluar. Apalagi kala itu eksistensi negara jadi  taruhan.

SBY pun pasang badan. Ia mencoba menimbang saran dari beberapa pihak. Sekalipun SBY akhirnya memilih mengambil keputusan tak populer ditentang banyak pihak. SBY memilih untuk menaikkan harga BBM sebagai opsi utama menjaga perputaran roda ekonomi bangsa Indonesia.

Pemerintah pun menaikkan BBM dua kali pada Maret dan Oktober 2005. Yang paling terasa kenaikannya adalah Premium pada bulan Maret dari Rp1.810 jadi Rp2.400 per liter. Sedang bulan Oktober, Premium dari 2.400 menjadi Rp4.500 per liter.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Indonesia pertama yang memperkenalkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada 2005. (Wikimedia Commons)

SBY mengungkap kenaikan itu sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Pemerintah pun tak lupa pada fakta bahwa kenaikan akan berimbas pada banyak hal. Terutama kenaikan harga-harga barang lainnya. Sebagai siasat, SBY menyiapkan kompensasi dalam bentuk BLT. Bantuan itu diharapkan dapat membantu rakyat dalam melewati masa-masa tersulit di tengah tingginya harga minyak dunia.

“Saya kira semua mengakui bahwa kenaikan harga BBM yang terjadi memang amat tajam. Kenaikan pada minyak tanah memang begitu besar. Kenaikan harga minyak tanah yang dianggap keterlaluan ini mungkin juga disebabkan harga minyak tanah yang keterlaluan rendahnya sebelum ini. Bahkan di negara penghasil minyak sendiri seperti Kuwait dan Brunei Darussalam, harga minyak tanah sekitar Rp1.400 dan Rp 1.200. Bandingkan, di indonesia hanya Rp 700 per liter.”

“Kenaikan harga Premium dan Solar, yang sudah mencapai 80 persen dan 77 persen dari harga internasional, bila tak diimbangi dengan kenaikan harga minyak tanah, hanya akan menimbulkan oplosan dan membuat minyak tanah tak tersedia di pasar, karena kita tahu bahwa minyak tanah mudah dipakai oleh industri dan dapat mengganti minyak solar dalam oplosan. Saat ini saja, dengan harga yang sudah dinaikkan, kelangkaan masih sempat terjadi,” ungkap Muhammad Chatib Basri dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Kenaikan Harga BBM: Rasionalkah? (2005).

Bantuan Langsung Tunai

Kenaikan BBM yang kedua pada bulan Oktober 2005 pun berdampak signifikan bagi masyarakat kelas bawah. Bagi mereka, kenaikan BBM membuat masyarakat miskin semakin jatuh dalam kubangan kemiskinan.  Pemerintah pun bersiasat. BLT (subsidi BBM) didewakan sebagai solusi.

BLT pertama kali didistribusikan pada bulan Oktober dengan target 19,2 juta keluarga miskin. Kompensasi kenaikan BBM itu diberikan oleh pemerintah dalam bentuk dana tunai langsung sebesar Rp100 ribu per bulan kepada setiap kepala keluarga rumah tangga kaum kemiskinan. Dana itu dapat diambil tiga bulan sekali. Namun, pembagian itu tidak akan cukup untuk memenuhi banyak kebutuhan hidup.

“Kayaknya suatu hal yang mustahil. Untuk menalangi kenaikan harga minyak tanah saja, yang dibutuhkan sebagian besar keluarga miskin baik untuk memasak maupun untuk berjualan gorengan di pinggir jalan, sudah tidak cukup sama sekali. Apalagi lagi untuk menutupi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya yang sudah merayap naik mendahului pengumuman resmi kenaikan harga BBM, rasanya tidak memadai sama sekali.”

Ilustrasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). (Wikimedia Commons)

“Bagi keluarga miskin penerima dana tunai langsung tentunya sadar betul bahwa tidak akan ada artinya apa-apa uang sebesar Rp100.000 per bulan, jika harus dibelanjakan pada saat meroketnya harga-harga kebutuhan pokok mereka. Dalam kondisi tersebut kekhawatiran yang muncul adalah penerima dana tunai langsung tidak menggunakan uang itu untuk membeli kebutuhan, melainkan untuk membeli mimpi-mimpi di siang hari bolong dengan cara memasang togel (Totoan Gelap),” Fahmy Radhi dalam buku Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat (2008).

Kritikan akan BLT pun bermunculan. Banyak di antaranya menyatakan bahwa BLT adalah ide usang yang justru memperpanjang durasi kemiskinan di Indonesia. Apalagi pembagian dari BLT sendiri acap kali tak tepat sasaran dan penuh dengan pontensi penyelewengan anggaran.

Adapun kritikan lainnya mengungkap pemberian BLT oleh pemerintah dianggap tak mendidik masyarakat dan akan membuat masyarakat semakin malas. Kehadiran BLT justru tak banyak membawa perubahan. Kemiskinan bukan malah berkurang, justru sebaliknya. Kemiskinan makin meningkat.

“Program BLT dinilai merupakan cara pemerintah untuk mempermudah penyelesaian masalah, orang miskin supaya tidak miskin ya diberi bantuan uang. Itu cara berpikir yang linier dan mudah, tetapi bukan penyelesaian masalah jangka panjang. Dengan adanya BLT, kemiskinan bukan malah berkurang, melainkan justru sebaliknya. Orang yang tadinya tidak miskin mendadak mengaku dirinya miskin karena ada bantuan dari pemerintah.”

“Berpikir mengentaskan kemiskinan bukan dengan cara memberikan BLT, tetapi mengajak rakyat untuk bekerja keras dan cerdas, bukan menjadikan mereka peminta-minta dan mengorbankan harga dirinya, tetapi rakyat harus didorong, diberdayakan, didampingi dan dibimbing agar mampu hidup mandiri dan harga dirinya dijunjung tinggi,” tutup Joko Indro Cahyono dalam buku Mr. HARY: Dari Sopir Oplet sampai Presiden KB Dunia (2020).