Empty Nest Syndrome, Perasaan Sedih yang Dialami Orang Tua saat Anak Meninggalkan Rumah
JAKARTA - Setiap orang tua, cepat atau lambat akan merasakan empty nest syndrome atau sindrom sarang kosong. Empty nest syndrome adalah rasa sedih, sepi, dan kehilangan yang dialami orang tua saat anak-anak mereka meninggalkan rumah, baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau menikah, dilansir VOI dari Mayo Clinic, Selasa, 5 April.
Meski Anda mendorong anak untuk hidup mandiri, namun pengalaman melepaskannya bisa menyakitkan. Anda akan merindukan masa-masa mengasuhnya hingga rindu saat masih menjadi bagian hidup si kecil yang kini beranjak dewasa.
Kekhawatiran akan datang seiring dengan rasa sedih. Pertanyaan-pertanyaan seperti bisakah anak bertahan hidup tanpa Anda, mampukah dia mengurus dirinya sendiri, kerap berseliweran di benak. Apalagi, jika Anda hanya memiliki satu anak dan merasa Anda berperan penting selama ini dalam membesarkannya, maka kecenderungan Anda mengalami empty nest syndrome lebih besar.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa orang tua dengan empty nest syndrome akan mengalami rasa kehilangan besar sehingga memungkinkan ia rentan terhadap depresi, kecanduan alkohol, krisis identitas, hingga konflik dalam perkawinan.
Baca juga:
Sedangkan studi terbaru menunjukkan bahwa empty nest syndrome dapat mengurangi konflik pekerjaan dan rumah tangga, serta mampu memberikan banyak manfaat bagi orang tua. Saat anak meninggalkan rumah, orang tua memiliki kesempatan untuk terhubung satu sama lain, meningkatkan kualitas pernikahan, dan menghidupkan kembali gairah emosi yang mungkin sebelumnya tidak sempat dimiliki.
Jika Anda sedang mengalami rasa kehilangan akibat sindrom sarang kosong, segera ambil tindakan, seperti;
Penerimaan. Hindari membandingkan waktu kepergian anak dengan pengalaman atau harapan Anda sendiri. Alih-alih, fokuslah pada apa yang dapat Anda lakukan demi keberhasilan anak saat dia harus meninggalkan rumah.
Tetap berhubungan. Kecanggihan teknologi memudahkan Anda untuk tetap terkoneksi dengan anak meski jarang memisahkan. Pertahankan komunikasi reguler melalui telepon, chatting, atau video call. Jika jarak tak terlalu jauh, maka sempatkanlah untuk berkunjung,
Mencari dukungan. Bagikan kegalauan Anda dengan keluarga atau teman-teman yang anaknya juga baru saja meninggalkan rumah. Jika Anda merasa tertekan, konsultasikan dengan dokter atau penyedia kesehatan mental.
Tetap positif. Menghabiskan waktu dan energi ekstra untuk memperdalam hubungan pernikahan atau menekuni minat maupun hobi setelah anak meninggalkan rumah dapat membantu Anda beradaptasi dengan perubahan besar dalam hidup.