Stunting Bisa Dipicu dari Rumah Tak Layak Huni, Jokowi: Hari Ini Saya Melihat Langsung di NTT
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan kekerdilan pada anak (stunting) di Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa dipicu sejumlah faktor, salah satunya rumah yang sudah tidak layak huni
“Hari ini saya melihat langsung di lapangan, kita tahu rata-rata yang mengalami kekerdilan itu memang tinggal di rumah yang tidak layak huni,” kata Joko Widodo di Timor Tengah Selatan, NTT, Kamis 24 Maret.
Dalam kunjungannya ke Desa Kesetnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, Presiden mengatakan diperlukan sebuah intervensi yang dapat menyelesaikan permasalahan rumah tak layak huni itu.
Lewat intervensi yang terpadu, Presiden yang akrab disapa Jokowi itu merasa dapat menyelesaikan permasalahan rumah tak layak huni, termasuk dengan urusan air dan sanitasi dalam rumah tangga di Nusa Tenggara Timur.
“Urusan air bukan perkara yang mudah, itu juga dikerjakan, terpadu, semuanya itu yang menyebabkan target yang ingin kita raih 14 persen (kekerdilan) itu tercapai,” kata Jokowi.
Selain menyoroti permasalahan rumah tak layak huni, Jokowi juga menyoroti pentingnya intervensi gizi pada anak agar kekerdilan tidak terjadi.
Menurutnya, melakukan intervensi gizi terhadap anak yang mengalami kekerdilan, tidak hanya memberikan makanan tambahan saja, tetapi juga kondisi kesehatan para calon pengantin yang harus disiapkan bahkan saat sebelum melangsungkan pernikahan.
Pemantauan tersebut dilakukan dengan pemberian pendampingan pada setiap calon pengantin agar setelah menikah calon orang tua mengetahui apa yang harus dilakukan terkait dengan gizi anak.
“Mereka tahu apa yang harus disiapkan sebelum menikah, sebelum hamil dan ngerti betul apa yang harus dilakukan karena belum tentu semua pengantin itu tahu. Meskipun punya uang banyak, tetapi kalau tidak tahu apa yang harus dilakukan, disiapkan akan menjadi keliru juga,” ucap Jokowi.
Baca juga:
Jokowi meminta semua pemerintah, baik dari pusat, pemerintah daerah hingga masyarakat dapat bahu membahu mengentaskan permasalahan kekerdilan agar target 14 persen pada tahun 2024 tercapai.
“Tanpa kerja terpadu dari pemerintah kabupaten/kota, pemerintah kota, pemerintah pusat dan seluruh masyarakat, saya kira sangat sulit mencapai target yang telah kita tetapkan,” ujar dia.
Sebelumnya, data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 membeberkan Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi daerah dengan angka kekerdilan tertinggi di Nusa Tenggara Timur, yakni 48,3 persen.
Bahkan, secara nasional, kabupaten itu menduduki peringkat pertama untuk prevalensi balita mengalami kekerdilan di antara 246 kabupaten/kota di 12 provinsi prioritas.