BKKBN Tegaskan Audit Kasus Jadi Hal Penting untuk Turunkan Angka Stunting di Indonesia

JAKARTA - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggelar kick off audit kasus stunting di Indonesia. 

Hal ini dilakukan dalam rangka implementasi Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

Dalam hal ini, tim percepatan penurunan stunting mulai dari tingkat kecamatan, desa, kabupaten/kota, melaksanakan audit kasus stunting.

Audit tersebut meliputi identifikasi jumlah kasus penyebab tata kelola yang sedang diterapkan, tingkat efektivitas serta kendala yang terjadi, merumuskan solusi terhadap permasalahan yang dibahas pada audit kasus stunting tiap daerah, evaluasi hasil tindak lanjut yang bertujuan untuk memberikan rekomendasi bagi tindakan, hingga penanganan yang tepat pada kasus stunting.

Adapun pelaksanaan audit kasus stunting dilakukan bersama pakar yang terdiri dari dokter spesialis anak, ahli kebidanan, psikolog, serta ahli gizi.

Dalam pembukaan kick off audit kasus stunting, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menegaskan audit kasus stunting sangat penting dalam menjalankan sistem penanganan stunting.

"Para pakar yang hari ini juga hadir di tingkat kabupaten untuk mendiskusikan tentang kasus kasus yang sulit dan juga tentu diagnosis-diagnosis yang masih dilematis. Oleh karena itu, inilah pentingnya audit," kata Hasto dalam acara yang digelar secara virtual, Kamis, 17 Maret.

Hasto mengungkapkan, audit kasus stunting ini akan mencegah adanya diagnostik berlebihan atau over diagnostic. Sebab, diagnostik pada kasus stunting yang berlebihan bisa berimbas pada penanganan berlebih, serta penganggaran penanganan stunting yang melebar.

"Kami tidak berharap semua yang pendek dianggap sebagai stunting kemudian akhirnya semua yang stunted dilakukan treatment. Di sisi lain, jangan sampai under diagnostik juga. Sehingga, harapan kami dengan tim audit stunting maka akan menyelesaikan masalah-masalah itu," jelas Hasto.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa terdapat dua jenis intervensi penurunan angka stunting menuju angka 14 persen pada tahun 2024, sesuai perintah Presiden Joko Widodo.

Pertama adalah intervensi sensitif. Intervensi sensitif adalah intervensi yang tidak berkaitan langsung dengan sasaran stunting, tetapi mempunyai kontribusi keberhasilan mencegah terjadinya stunting dan gizi buruk mencapai 70 persen.

Kedua adalah intervensi spesifik. Budi mengungkapkan, intervensi spesifik memiliki kontribusi 30 persen dari kejadian stunting. Budi mengaku, intervensi ini merupakan tanggung jawab Kemenkes.

"Kita melihat ada dua titik intervensi penting. Pertama sebelum kelahiran yang berkontribusi sekitar 20 persen dan juga pada masa bayi sesudah selesai asi. Itu adalah 2 titik yang paling kritis untuk menurunkan stunting," tutur Budi.

"Kita sudah merancang 11 program intervensi. Ada 5 intervensi untuk yang sebelum lahir, 5 sesudah lahir, dan 1 intervensi meng-cover seluruh periode hingga 1000 hari bayi yang harus kita perhatikan," lanjutnya.

Ada pun kesebelas intervensi yang dimaksud Budi adalah konsumsi tablet tambah darah untuk remaja putri, screening anemia untuk remaja putri, pemeriksaan kehamilan untuk ibu hamil, konsumsi tablet tambah darah untuk ibu hamil, dan pemberian makanan tambahan bagi ibu KEK.

Selanjutnya merupakan intervensi sesudah bayi lahir. Di antaranya adalah pemantauan tumbuh kembang

ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan protein hewani bagi anak di bawah dua tahun, tatalaksana balita dengan masalah gizi, dan peningkatan cakupan dan perluasan jenis imunisasi.