Saat Pemotongan Hukuman Edhy Prabowo Karena Bekerja Baik Dianggap Absurd

JAKARTA - Masa hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dipotong empat tahun dalam kasus suap izin ekspor benur atau benih lobster. Hanya saja, pemotongan hukuman itu disorot karena pertimbangannya absurd.

Mahkamah Agung (MA) menyunat masa hukuman Edhy Prabowo dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara. Pemotongan masa pidana ini diketuk karena dia dianggap bekerja baik selama menjabat.

Putusan tersebut diketuk oleh majelis yang terdiri dari Sofyan Sitompul, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani pada 7 Maret lalu.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp400 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," demikian dikutip dari putusan MA.

Dalam pertimbangan majelis kasasi, putusan itu diperbaiki karena kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa. Adapun keadaan tersebut adalah Edhy telah bekerja dengan baik selama menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.

Hal tersebut terbukti karena Edhy telah mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020 yang bertujuan untuk pemanfaatan benih lobster.

"Yaitu ingin memberdayakan nelayan dan juga untuk dibudidayakan karena lobster di Indonesia sangat besar. Lebih lajut dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tersebut eskportir disyaratkan untuk memperoleh benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL," tulis pertimbangan itu.

"Sehingga jelas perbuatan terdakwa tersebut untuk menyejahterakan masyarakat, khsususnya nelayan kecil," imbuh pertimbangan majelis kasasi tersebut.

Pertimbangan ini kemudian ditanggapi oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Menurutnya, pemotongan masa hukuman Edhy Prabowo ini absurd.

Kurnia menilai jika Edhy telah bekerja baik seperti pertimbangan MA, dia tak akan aja diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Alasan Mahkamah Agung untuk mengurangi hukuman Edhy Prabowo benar-benar absurd. Sebab, jika ia sudah baik bekerja dan memberi harapan pada masyarakat tentu Edhy tidak diproses hukum oleh KPK," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Kamis, 10 Maret.

Pegiat antikorupsi ini juga menilai, hakim kasasi yang menyunat hukuman Edhy dari sembilan tahun penjara menjadi lima tahun tak melihat sejumlah faktor yang justru memperberat hukuman itu.

Faktor pertama, kata Kurnia, Edhy telah memanfaatkan jabatannya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan untuk meraup keuntungan dengan cara melawan hukum yaitu menerima suap terkait perizinan ekspor benih bening lobster (BBL).

Faktor kedua, politikus Partai Gerindra itu disebut telah melakukan korupsi di tengah pandemi COVID-19 di mana banyak masyarakat menderita.

"Bagaimana mungkin hakim mengatakan terdakwa telah memberi harapan kepada masyarakat sedangkan pada waktu yang sama Edhy melakukan praktik korupsi di tengah kesengsaraan masyarakat akibat pandemi COVID-19," tanyanya.

Dengan kondisi itu, pegiat antikorupsi itu kemudian menilai putusan MA untuk memotong masa hukuman Edhy terbilang janggal. Sebab, hukuman lima tahun penjara itu hanya lebih berat enam bulan dibandingkan hukuman dengan masa hukuman yang dijatuhkan kepada stafnya, Amiril Mukminin yang terjerat kasus suap tersebut.

"Terlebih lagi dengan kejahatan korupsi yang ia lakukan, Edhy juga melanggar sumpah jabatannya sendiri," tegas Kurnia.

Lebih lanjut, Kurnia juga mengatakan pemotongan hukuman terhadap Edhy dengan alasan yang absurd dikhawatirkan bisa menimbulkan preseden buruk. Bukan tak mungkin, nantinya pelaku koruptor tidak jera tapi malah semangat untuk melakukan korupsi.

Padahal, praktik korupsi harusnya dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. "Pemotongan hukuman oleh Mahkamah Agung ini dikhawatirkan menjadi multivitamin sekaligus penyemangat bagi pejabat yang ingin melakukan praktik korupsi," ujarnya.

"Sebab, mereka melihat secara langsung bagaimana putusan lembaga kekuasaan kehakiman jarang memberikan efek jera," pungkas Kurnia.