Pengamat Hukum Temukan Ada yang Tidak Beres dalam Pembayaran Restitusi
JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menemukan sejumlah masalah serius terkait dengan penerapan pembayaran restitusi atau ganti kerugian oleh pelaku kepada korban atau keluarga korban.
"Pertama adalah beban adminsitrasi yang ditumpuk pada korban," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu di Jakarta, Rabu 23 Februari.
Akan tetapi, kata dia, beban administrasi tersebut tidak hanya menyangkut pembayaran restitusi kepada para korban, tetapi juga mengenai hal lainnya.
Erasmus menemukan masalah tersebut di dalam KUHP sebelum Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban lahir. Artinya, sebelum undang-undang itu ada, mekanisme ganti kerugian hanya diakomodasi dalam satu pasal di KUHAP, yakni Pasal 98.
"Jadi, bebannya masih dibebankan kepada pelaku," kata Erasmus.
Setelah adanya istilah restitusi, sebenarnya hal tersebut sama saja dengan ganti kerugian tetapi dengan mekanisme yang berbeda dan berubah.
Akan tetapi, dari banyak kasus di lapangan atau ketika LPSK tidak ada, ICJR menemukan para korban tetap harus mengajukan restitusi secara administrasi.
"Artinya, ada beban bagi korban. Setelah melaporkan, dia harus mengadvokasi sendiri ganti kerugian yang dialami," ujarnya.
Masalah selanjutnya yang disoroti oleh ICJR adalah mengenai pengaturan komponen restitusi yang berbeda serta ketidakjelasan mekanisme penghitungan restitusi.
Masalah lainnya, kata dia, pelaksanaan restitusi. Hal tersebut merujuk pada laporan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada tahun 2020.
Sepanjang tahun 2020, LPSK menghitung ada Rp7 miliar restitusi yang seharusnya dibayarkan oleh pelaku kepada korban. Mirisnya, yang diputus oleh hakim hanya Rp1,3 miliar.
"Bahkan, yang sampai kepada korban atau dibayarkan pelaku hanya Rp101 juta," kata dia.
Dengan kata lain,lanjut dia, ada permasalahan serius pembayaran restitusi, mulai dari pengajuan penuntutan, putusan hakim, hingga eksekusi restitusi itu sendiri.