Sambut Panja Penyelamatan Garuda Indonesia Bentukan DPR, Erick Thohir: Kementerian BUMN Tidak Sendiri
JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyambut positif pembentukan panitia kerja (Panja) penyelamatan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk oleh Komisi VI DPR. Menurut dia, pembentukan panja merupakan bentuk dukungan konkret dari DPR dalam mengawal proses penyehatan maskapai pelat merah tersebut.
"Panja merupakan komitmen dan tindaklanjut dari pembahasan sejumlah rapat kerja maupun Rapat Dengar Pendapat yang telah beberapa kali dilakukan antara Kementerian BUMN dengan Komisi VI DPR RI," ujar Erick di Jakarta, Rabu, 16 Februari.
Kata Erick, dukungan politik dari Komisi VI DPR sangat penting bagi Kementerian BUMN dalam menyehatkan kembali kinerja Garuda Indonesia. Kementerian BUMN bersama Komisi VI DPR RI akan terus bersinergi dalam mencari jalan keluar atas persoalan yang dialami Garuda Indonesia.
Erick juga menyampaikan Kementerian BUMN akan memaparkan secara rinci mengenai rencana bisnis dan transformasi Garuda Indonesia ke depan kepada Komisi VI DPR RI.
"Seperti yang sering saya sampaikan, kita (BUMN) tentu tidak bisa sendirian, ini eranya kolaborasi termasuk dalam memperbaiki kinerja Garuda Indonesia yang juga memerlukan dukungan Komisi VI DPR," ujarnya.
Komisi VI DPR RI, sambung Erick, akan mengawal proses transformasi dan restrukturisasi yang sedang dilakukan Garuda. Erick menyebut transformasi menjadi keharusan bagi Garuda Indonesia agar mampu bertahan di situasi yang penuh ketidakpastian akibat pandemi dan juga menatap prospek bisnis pascapandemi.
Tak hanya itu, kata Erick, Kementerian BUMN juga telah menggandeng Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menindaklanjuti indikasi dugaan korupsi di Garuda Indonesia.
"Perbaikan menyeluruh dari sisi penegakan hukum dan sisi bisnis bertujuan untuk membuat Garuda ke depan lebih akuntabel, profesional, dan transparan," ucapnya.
Baca juga:
Diberitakan sebelumnya, neraca ekuitas PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah melampaui PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Ia mengatakan bahwa Garuda Indonesia mengalami negatif ekuitas sebesar 2,8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp40 triliun.
Wamen BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan bahwa drop-nya tingkat neraca keuangan Garuda Indonesia disebabkan juga oleh adanya pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) 73 yang dilakukan perusahaan pada 2020-2021 ini yang menyebabkan dampak penurunan ekuitas semakin dalam.
"PSAK 73, membuat operating list jangka panjang menjadi cost saat ini dampaknya terasa berat, karena seluruh cost future seluruh kewajiban jangka panjang jadi MVP atau tercatat saat ini, neraca dihantam karena PSAK 73," katanya dalam rapat dengan Komisi VI DPR, Selasa, 9 November.
Menurut Kartika, pada posisi ini secara teknikal telah menyeret perseroan ke lubang kebangkrutan. "Dalam kondisi ini dalam istilah perbankan sudah technically bankrupt, tapi legally belum, ini yang sekarang saat ini kita sedang upayakan gimana keluar dari posisi ini," ujarnya.
Lebih lanjut, Kartika mengatakan, anggapan bangkrut tersebut karena secara praktik sebagian kewajiban Garuda Indonesia sudah tak dibayar. Bahkan, gaji pegawai pun dipangkas sejak 2020. Sedangkan untuk gaji pejabat perseroan sudah sebagian ditahan.
"Jadi kita harus pahami bersama situasi Garuda sebenarnya secara technical sudah mengalami bangkrut. Karena kewajiban-kewajiban jangka panjangnya sudah tidak ada yang dibayarkan termasuk global sukuk, termasuk himbara dan sebagainya," tuturnya.
Tiko sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa posisi utang Garuda mencapai 9,8 miliar dolar AS. Menurut dia, tunggakan pembayaran kepada lessor senilai 6,3 miliar dolar AS menjadi utang yang paling besar. Karena ada komponen jangka panjang, dan tadi ada komponen yang tidak terbayar dalam jangka pendek.
"Kalau disampaikan utangnya mencapai 7 yang tercatat, plus kemudian utang dari lessor yang tidak terbayar 2 miliar dolar AS lagi jadi totalnya sebenarnya 9 miliar dolar AS," ucapnya.
Sedangkan aset perseroan hanya 6,9 miliar dolar AS. Tiko mengatakan persoalan keuangan di maskapai nasional tersebut terjadi akibat kombinasi antara korupsi pada masa lalu dan penurunan pendapatan di masa pandemi COVID-19.