Bukan Karena Makanannya, Ini Penyebab Gangguan Makan

JAKARTA – Menjadi kurus, bugar, terlihat menarik, kerap membuat seseorang bekerja keras untuk mendapatkannya. Sayangnya, motivasi untuk mendapatkan penilaian ‘baik’ tidak hanya membuat berat badan turun, mengurangi porsi karbo, diet ketat, bahkan bisa membuat seseorang menderita gangguan makan.

Dilansir Psychology Today, Senin, 7 Februari, sekitar 20 juta wanita dan 10 juta pria menderita gangguan makan di Amerika Serikat. Menurut Kristen Fuller, M.D. seorang penulis, dokter, dan banyak menaruh perhatian pada kesehatan mental, anoreksia nervosa adalah pembunuh nomor satu dari semua gangguan kesehatan mental. Tetapi gangguan makan tersebut, tidak melulu disebabkan oleh makanan.

Gangguan makan yang paling dikenal dalam The Diagnostic & Statistical Manual (DSM-V) adalah anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan binge eating disorder. Dua gangguan lain dalam DSM dikenal sebagai Avoidant-Restrictive Food Intake Disorder (ARFID) dan Other Spesified Feeding and Eating Disorder (OSFED). Masing-masing gangguan tersebut memiliki tanda, gejala, dan kondisi yang berbeda, tetapi memiliki pemicu yang sama.

Menurut American Psychological Association (APA) disebabkan hal-hal berikut yang menjadi pemicu mendasar dan berkontribusi mengembangkan gangguan makan.

  • Trauma masa lalu
  • Harga diri rendah
  • Intimidasi
  • Hubungan orang tua yang buruk
  • Gangguan kepribadian ambang
  • Penyalahgunaan zat
  • Non-suicidal self-injury disorder (NSSI)
  • Kepribadian prefeksionis
  • Kesulitan berkomunikasi emosi negatif
  • Kesulitan menyelesaikan konflik, dan
  • Genetika

Gangguan makan, menurut Fuller, bisa diobati dengan salah satunya psikoterapi. Pendekatan terapi, seperti dilakukan pada terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi perilaku dialek (DBT) yang bertujuan untuk mengenali dan mengurangi pikiran serta emosi berbahaya terkait dengan gangguan makan.

Dari situ kemudian mengembangkan mekanisme dan alat koping produktif untuk membantu individu terlibat dalam pikiran, emosi, dan perilaku positif untuk mengatasi trauma masa lalu dan harga diri rendah mereka. Latihan keterampilan juga bisa membantu untuk mengatur perhatian penuh, seperti dengan meditasi, terapi seni, dan pembangunan hubungan.