Mampukah Pemerintah Kembangkan Biodiesel dan Bangun Kilang Minyak secara Bersamaan?
JAKARTA - Pemerintah saat ini sedang menggenjot sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), dengan menembangkan biodiesel, serta merampungkan empat proyek Refinery Development Master Pland (RDMP) dan dua kilang baru. Proyek pemerintah ini, menurut beberapa pengamat, dapat berjalan bersamaan.
Pengamat Energi UGM Fahmy Radhi mengatakan, proyek-proyek pemerintah tersebut memang harus dijalankan secara bersamaan. Sebab, hal ini untuk mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM).
"Keduanya harus dijalankan secara simultan untuk mengurangi impor BBM. Pengembangan biodiesel untuk mengurangi impor solar dan avtur. Sedangkan, pembangunan kilang untuk mengurangi impor gasoline, termasuk Euro-4," ucapnya, kepada VOI, di Jakarta, Selasa, 1 September.
Sependapat, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, dalam situasi saat ini pemerintah sulit untuk memilih salah satu dari kedua proyek tersebut. Salah satu alasanya, karena kebutuhan Indonesia terhadap BBM cukup tinggi.
"Terkait dengan kondisi saat ini saya kira memang serba salah ya untuk melakukan memilih salah satu. Indonesia saat ini masih cukup tinggi kebutuhan akan BBM. Dengan produksi sebesar 700 ribu BOPD dan konsumsi 1,4 juta BOPD saya kira pembangunan kilang baik itu RDMP maupun Grass Root Refinery (GRR) harus berjalan juga," tuturnya.
Sedangkan, kata Mamit, untuk pembangunan kilang baru, harus terintegrasi dengan petrochemical sehingga kemampuan kilang akan maksimal. Sementara untuk RDMP harus diprioritaskan yang mana lebih dulu untuk dikerjakan.
"Untuk yang RDMP saya kira diprioritaskan terlebih dahulu yang mana. Saat ini Balikpapan sudah berjalan jadi harus kita kejar segera beroperasi untuk memenuhi kebutuhan BBM terutama Indonesia Timur," ucapnya.
Terkait dengan program biodisel, kata Mamit, ini juga harus terus berjalan. Hal ini karena mengingat dampak dari program tersebut sudah terlihat dengan jelas, di mana Pertamina sudah tidak melakukan impor solar lagi karena sudah terpenuhi kebutuhannya.
"Ke depan kita meningkatkan penggunaan EBT (energi baru terbarukan) sehingga target bauran energi bisa tercapai. Melalui program biodisel bisa mengurangi juga CAD negara kita," tuturnya.
Lalu bagaimana dengan ongkos ekonomi yang mahal dari seluruh program tersebut? Fahmy mengatakan, pembiayaan seluruh proyek pemerintah tersebut diserahkan pada PT Pertamina (Persero). Dia menyarankan, agar perusahaan pelat merah ini mencari partner sebagai investor untuk program tersebut.
Baca juga:
"Untuk pembiayaan keduanya serahkan saja kepada Pertamina untuk memcari partner investor. Dengan demikian tidak mengganggu pengeluaran APBN, yang lagi difokuskan untuk biayai sektor kesehatan dan ekonomi, yang terpuruk akibat pandemi COVID-19," katanya
Mamit mengatakan, untuk menjalankan semua proyek tersebut secara bersamaan tergantung bagaimana Pertamina bisa melakukan pengaturan keuangan terutama terkait pembangunan RDMP dan GRR.
"Makanya Pertamina saya kira harus mencari partner terutama untuk program RDMP dan GRR," ucap Mamit.
Sebelumnya, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan bahwa pemerintah saat ini terlalu banyak berambisi, terutama di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM).
Pernyataan Faisal tersebut merujuk pada pemerintah yang sedang mengembangkan biodiesel, dan masih berencana merampungkan empat proyek Refinery Development Master Pland (RDMP) dan dua kilang baru.
"Pemerintah sebaiknya meninjau kembali rencana tersebut. Ditambah lagi pemerintah juga berambisi mengembangkan kendaraan listrik, bakal terjadi kekacauan jika semuanya diwujudkan pada waktu bersamaan. Pemerintah juga bakal menanggung ongkos ekonomi yang mahal dari seluruh program tersebut," ujar Faisal Basri dalam sebuah diskusi virtual, akhir pekan lalu, Sabtu 29 Agustus
Sementara terkait pengembangan biodiesel untuk menekan defisit transaksi berjalan (CAD), menurut Faisal, tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pengembangan biodiesel diharapkan mampu menekan impor minyak, namun berdasarkan perhitungan opportunity cost, justru defisit perdagangan masih terjadi.
Faisal menilai, kebijakan biodiesel itu juga justru merugikan para petani sawit. Sementara yang paling diuntungkan dari program ini yaitu para pengusaha biodiesel.
Lebih lanjut, Faisal berujar, di masa pandemi COVID-19 ini yang harusnya difokuskan pemerintah adalah kancaman defisit energi tahun 2021. Konsumsi energi terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, namun kata Faisal, tidak didukung cadangan energi.