Menganalisis Tarif Listrik Tidak Perlu Dinaikkan
JAKARTA - Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), akhirnya memutuskan untuk tetap memberikan subsidi, dengan tidak menerapkan tarif penyesuaian otomatis (automatic tariff adjustment) pada pelanggan 900 VA Rumah Tangga Mampu (RTM) pada 1 Januari 2020.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mewacanakan untuk menerapkan automatic tariff adjustment untuk pelanggan 900 VA RTM seiring dengan penurunan subsidi listrik dari Rp 59,32 triliun pada 2019 turun menjadi Rp 58,62 triliun pada 2020. Kalau subsidi untuk golongan 900 VA RTM dicabut dengan mengikuti automatic tariff adjustment, diperkirakan terjadi penghematan subsidi listrik sebesar Rp 6 triliun pada 2020.
Namun, Menteri ESDM Arifin Tasrif memutuskan untuk tetap memberikan subsidi pada pelanggan 900 VA RTM, dengan tidak memasukkan ke dalam automatic tariff adjustment, meskipun PLN sudah mengajukan permohonan itu. Menteri ESDM memutuskan, untuk menunda kebijakan tersebut dengan pertimbangan menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat.
Automatic tariff adjustment adalah mekanisme penyesuaian tarif listrik secara otomatis, yang digunakan PLN dalammenetapkan penaikan atau penurunan tarif listrik. Dasar yang digunakan adalah varibel pembentuk Harga Pokok Penyediaan (HPP) listrik, terdiri: Indonesia Crude Price (ICP), inflasi, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan harga energi primer, yang membentuk HPP. Penerapan automatic tariff adjustment bisa menyebabkan tarif listrik naik, tetapi bisa pula tarif listrik turun, tergantung besaran variabel pembentuk HPP itu.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan, jika mencermati variabel pembentuk HPP listrik pada 2019, ada kecenderungan mengalami penurunan dan penguatan. ICP cenderung turun pada kisaran 60,84 dolar AS per barel pada September 2019, bahkan pada Agustus 2019 pernah turun mencapai 57,27 dolar AS per barel, lebih rendah dibandingkan dengan harga asumsi ICP di APBN yang ditetapkan sebesar 65 dolar AS per barel.
Sementara, kurs tengah rupiah terhadap dolar (AS) hingga September 2019 cenderung menguat mencapai rata-rata Rp. 14.148 per satu dollar AS, lebih kuat ketimbang asumsi APBN 2019 dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PLN yang ditetapkan sebesar Rp 15.000 per satu dolar AS. Inflasi September 2019 mencapai hanya sebesar 0,12 persen per bulan, atau sekitar 3,12 persen year on year sepanjang 2019.
"Selain ketiga indikator itu, variabel biaya energi primer yang menentukan HPP listrik juga cenderung mengalami penurunan," ujar Fahmy kepada VOI, Senin 30 Desember.
Ia menjelaskan, PLN memang masih menggunakan energi batubara untuk pembangkit listrik dengan proporsi 57 persen dengan harga batubara dunia berfluktuasi. Pada awal 2019, harga batubara dunia pernah mencapai di atas 100 dolar AS per metrik ton, lalu turun hingga mencapai ke level 78,3 dolar AS per metrik ton pada Juli 2019. Namun, berdasarkan keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar 70 dolar AS per metrik ton, yang diberlakukan per 12 Maret 2018 hingga Desember 2019.
"Dengan DMO harga Batubara sebesar itu, beban HPP listrik dapat diturunkan," tuturnya.
Berdasarkan kecenderungan penurunan ICP, lanjut dia, penguatan kurs rupiah terhadap dolar AS, dan stabilitas inflasi, penurunan harga energi primer, serta efisiensi yang dilakukan PLN selama ini, maka HPP listrik mestinya mengalami penurunan yang signifikan.
"Dengan penurunan HPP listrik itu, penetapan tarif listrik dengan menggunakan automatic adjustment mestinya tidak perlu ada kenaikkan tarif listrik pada 2020 untuk semua golongan pelanggan," jelasnya.
Menurutnya, keputusan pemerintah untuk tidak mencabut subsidi pelanggan 900 VA RTM sudah sangat tepat, yang menunjukkan keperpihakan pemerintah kepada rakyat. Pasalnya, sebagian pelanggan 900 VA RTM sesungguhnya termasuk dalam Rumah Tangga Rentan Miskin. Mereka akan jatuh miskin apabila pengeluaran untuk biaya listrik dan BBM dinaikkan, sedangkan penghasilan mereka tetap.
Namun, agar kebijakan itu tidak memberatkan beban PLN di tengah fluktuasi harga batubara dunia, pemerintah harus memperpanjang kebijakan penetapan DMO harga batubara sebesar 70 dolar AS per metrik ton.
Bahkan besaran DMO harga batubara sebesar 70 dolar AS per metrik ton itu perlu dipertimbangkan untuk diturunkan hingga menjadi 60 dolar AS per metrik ton. Pertimbangannya, selama 2019 harga batubara cenderung turun yang mencapai rata-rata 63 dolar AS per metrik ton.