Klaster COVID-19 di Pabrik LG, DPR Cecar Menperin Agus Gumiwang
JAKARTA - Sebanyak 242 dari 776 karyawan pabrik LG Electronics positif COVID-19, setelah perusahaan melakukan swab test terhadap seluruh karyawan pabrik. Hal ini menjadi mendapat sorotan dari Komisi VI DPR, dalam rapat dengan Menterian Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita .
Anggota Komisi VI Evita Nursanty dari fraksi PDIP meminta, Agus untuk lebih tegas dalam penerapan protokol kesehatan di sektor industri. Hal ini untuk mencegah penyebaran virus SAR-COV-2 atau COVID-19 di pabrik-pabrik.
"Operasional sektor industri ini sudah bergerak. Memang ada harga yang harus kita bayar untuk itu bahwa adanya klaster-klaster pandemi baru di wilayah industri. Namun demikian mau tidak mau, life must go on. Kita tetap harus bergerak. Tentunya pak menteri saya harapkan untuk lebih tegas lagi kepada industri industri agar mereka benar-benar menjalankan protokol kesehatan," katanya, dalam rapat Komisi VI bersama Kemenperin dan BKPM, Kamis, 27 Agustus.
Evita pun mengatakan, berkaca pada kasus COVID-19 yang terjadi di Vietnam, penyebaran virus terjadi melalui klaster pabrik. Karena hal itu, Kemenperin harus memastikan semua pabrik taat protokol kesehatan agar Indonesia tak mengalami hal serupa dengan Vietnam.
"Ada LG yang baru, lalu Unilever, Denso, dan ada Hitachi. Vietnam kasus baru daripada COVID-19 itu dari pabrik. Jadi ini jangan sampai terjadi di kita," tuturnya.
Senada, rekan satu fraksi Evita, Darmadi Durianto juga menanyakan hal yang sama. Ia mengaku heran mengapa pabrik kelas multi-nasional seperti LG, bisa menciptakan klaster baru penyebaran COVID-19.
"Banyak perusahaan multi-nasional LG misalnya. Itu bisa, klaster baru sekelas LG. Bagaimana pabrik baru? LG Korea yang standarnya ketat saja bisa lolos. Bisa dibayangkan enggak perusahaan-perusahan kelas di bawahnya? LG, Unilever yang begitu ketat," kata Darmadi.
Kemudian, anggota Komisi VI Chairul Anwar dari Fraksi PKS meminta pemerintah meningkatkan kewaspadaan atas penyebaran COVID-19 khususnya di pabrik. Sebab, kata dia, hal ini menjadi penting, karena sangat tidak mungkin ekonomi bisa baik selama COVID-19 tidak segera diselesaikan.
Tak hanya itu, Chairul juga mewanti-wanti sektor industri untuk menerapkan protokol kesehatan. Sebab, jika terjadi penyebaran COVID-19 dan karyawan terkontaminasi, maka pabrik akan mengalami kerugian.
"Buktinya LG, begitu mereka berjalan sekarang mereka harus hentikan selama 14 hari untuk tidak produksi. Mereka kehilangan waktu, hasil produksi, dan tentu keuntungan. Dan akan ada kerugian dalam manufacturing. Oleh karenanya ini harus diperhitungkan betul," jelasnya.
Anggota Komisi VI Eko Hendro Purnomo atau lebih dikenal dengan Eko Patrio dari fraksi PAN juga angkat bicara mengenai klaster baru penyebaran COVID-19 di pabrik LG. Kata Eko, saat ini rapid test sudah tak akurat, sehingga pemerintah harus memfasilitasi pabrik-pabrik untuk swab test.
"Saya mengharapkan Pak Menteri ini bisa melakukan atau memfasilitasi dengan satuan kerja yang ada, dengan industri-industri yang ada untuk melakukan atau memerintahkan bukan menyosialisasikan Pak. Kalau buat saya, langsung perintahkan saja untuk kaitan dengan masalah swab test ini," ucapnya.
Pabrik Manufaktur Tetap Harus Buka
Menanggapi hal ini, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan mengapa pabrik-pabrik di sektor industri tetap beroperasi selama pandemi COVID-19. Menurut dia, hal ini karena berdasarkan Permenkes nomor 9 tahun 2020 ditetapkan industri manufaktur dikecualikan dari sektor usaha yang harus tutup.
Namun, Agus menegaskan, pihaknya tak pernah memaksakan para pabrik tetap beroperasi. Menurut dia, izin operasional di tengah pandemi bisa diajukan pabrik kepada Kemenperin secara sukarela.
"Begitu ada perusahaan yang ajukan izin sukarela, dia harus ikuti kewajiban yang ditetapkan. Protokol kami sudah sangat lengkap," kata Agus.
Agus juga mengungkapkan, selama ini pabrik multi-nasional tersebut sudah punya komitmen ekspor dengan pelanggan di luar negeri. Sehingga, di tengah pandemi ini pabrik LG harus tetap beroperasi untuk memenuhi komitmen ekspor tersebut.
"Kita enggak boleh lupa lagi punya komitmen dengan buyer yang ada di luar negeri. Mereka harus ekspor terhadap produk-produk yang sudah jadi komitmen mereka. Jadi tentu kita harus sangat bijak," jelasnya.
Lebih lanjut, Agus menegaskan, operasional industri manufaktur khususnya LG itu tetap harus berlanjut, meskipun pandemi COVID-19 belum usai.
"Saya tidak mau komitmen ekspor LG diisi oleh negara lain. Saya enggak mau itu. Itu harus dikelola dengan baik," tuturnya.
Agus menegaskan, pabrik yang beroperasi di tengah pandemi COVID-19 tetap harus menjalankan protokol kesehatan.
Dianggap 'Pembunuh Massal'
Sebelumnya, Agus bercerita bahwa masyarakat menuding Kementerian Perindustrian sebagai 'pembunuh massal'. Tuduhan itu berawal dari keputusan kementerian memberikan izin beroperasi kepada pabrik-pabrik di tengah pandemi COVID-19.
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah memperbolehkan industri manufaktur atau pabrik-pabrik untuk menjalankan bisnisnya di tengah pandemi. Namun, dengan syarat pabrik-pabrik tersebut telah mengantongi Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI).
Menurut Agus, sejak adanya kebijakan tersebut, dirinya mendapatkan kritikan bertubi-tubi dari masyarakat lewat pesan singkatnya di WhatsApp (WA).
Apalagi, setelah berlakunya kebijakan tersebut muncul beberapa kasus, klaster COVID-19 di berbagai pabrik di Indonesia di antaranya, HM Sampoerna, Unilever, Hitachi dan lainnya.
"Ini sejak awal saat pandemi masuk ke Indonesia, saya ingat sekali saat saya mengambil kebijakan ini banyak sekali saya mendapat kritikan, bertubi tubi masuk WA pribadi saya. Katanya saya merupakan pembunuh massal karena membiarkan pabrik-pabrik beroperasi," tutur Agus, dalam diskusi virtual, Selasa, 4 Agustus.
Agus berujar, meski IOMKI diterbitkan dan pabrik dapat beroperasi, tetapi tatap harus dibarengi dengan protokol yang disiplin disiplin. Menurut dia, hal itu sudah disosialisasikan melalui surat edaran (SE).
Lebih lanjut, Agus mengatakan, melalui Kemenperin Nomor 8/2020 tentang Kewajiban Pelaporan Bagi Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang memiliki IOMKI. Ia menegaskan, perusahaan harus melaporkan pelaksanaan operasional dan mobilitas kegiatan industri secara berkala setiap pekan.
"Mereka juga harus secara rutin melaporkan kepada Kementerian Perindustrian setiap minggu melalui SIINas. Kegiatan yang ada di industri masing-masing khususnya berkaitan dengan pelaporan pelaksanaan protokol kesehatan, pelaporan apakah ada pegawai buruh dan pekerja mereka yang terpapar, dan bagaimana cara mereka menanganinya," jelasnya.
Menurut Agus, wajib laporan perusahaan ini untuk mengetahui bagaimana penanganan kesehatan di pabrik. Sebab, dalam SE yang sudah diterbitkan ada SOP yang harus dilakukan dalam menangani jika di perusahaan mereka ditemukan kasus.