Melihat Lagi Pembunuhan dan Perjalanan Kasus Munir yang Segera Kedaluwarsa

JAKARTA - Hari ini, 8 Desember, aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib, berulang tahun. Jika masih hidup, saat ini ia merayakan ulang tahun ke-56. Munir meninggal dunia 7 September 2004 karena diracun saat melakukan perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda. Kasus ini akan kedaluwarsa tahun depan. Akhir yang murung dan suram jika kejadian.

Saat meninggal, usia Munir 39 tahun. Ia hendak mengenyam pendidikan di Universitas Utrecht, Belanda. Munir menuju Belanda dengan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974. Pesawat yang ditumpangi Munir sempat transit di Singapura.

Setelah transit dan kembali melanjutkan perjalanan ke Belanda, Munir merasa sakit perut dan kerap bolak balik ke toilet. Bahkan pindah tempat duduk agar dekat dengan toilet dan dapat diperiksa dokter dengan baik.

Dua jam sebelum tiba di Bandara Schipol, Amsterdam, Munir meninggal dunia. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada 7 September 2004 sekitar pukul 08.10 waktu setempat. Mengutip Tempo, dua bulan setelah kematian Munir, kepolisian Belanda mengungkap ia tewas akibat racun.

Foto Munir sebelum keberangkatannya ke Belanda (Sumber: Wikimedia Commons)

Pembunuhan Munir dengan racun diketahui setelah hasil otopsi menunjukkan kandungan senyawa arsenik dalam tubuhnya. Senyawa itu diketahui terdapat di dalam air seni, darah, dan jantung yang jumlahnya melebihi kandungan normal.

Munir dikenal begitu giat menegakkan HAM. Ia pernah menjadi penasihat hukum keluarga korban tragedi Tanjung Priok pada 1984. Munir juga pernah memerjuangkan kasus meninggalnya aktivis buruh, Marsinah.

Munir dan rekan aktivis lainnya mengadvokasi dan menginvestigasi kasus pembunuhan Marsinah. Munir juga aktif melakukan advokasi terhadap kasus HAM yang terjadi pada 1997-1998, tepatnya ketika Soeharto masih memimpin pemerintahan Indonesia.

Penanganan kasus Munir

Pilot Garuda Indonesia Pollycarpus dan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, terseret dalam kasus kematian Munir. Pollycarpus sempat bersama Munir dan diduga kuat sebagai orang yang memberikan racun arsenik kepada Munir.

Saat kejadian, Pollycarpus mengaku sebagai kru tambahan. Mengutip Kompas, pada 20 Desember 2005, Pollycarpus divonis hukuman 14 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Ia dinilai terbukti melakukan pembunuhan berencana dan menggunakan surat palsu, sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 340 KUHP jo 55 KUHP ayat 1 ke 1 KUHP dan dakwaan kedua pasal 263 ayat 2 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Pollycarpus.

Terpidana pembunuhan Munir (Sumber: Antara)

Pollycarpus kemudian mengajukan banding dan pada 27 Maret 2006, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonis Pollycarpus penjata 14 tahun. Majelis Hakim banding menyatakan hukum majelis hakim tinggi pertama sudah tepat.

Kasus tersebut berlanjut ke kasasi di Mahkamah Agung (MA). MA hanya menghukum Pollycarpus dua tahun penjara untuk kasus penggunaan surat palsu. Untuk pembunuhan berencana, MA menyatakan hal itu tidak terbukti. Pollycarpus hanya terbukti menggunakan surat palsu yang dipakai ke Singapura.

Pada 25 Januari 2008, menurut putusan PK, Pollycarpus mendapat hukuman 14 tahun. Pollycarpus kemudian bebas bersyarat pada 2014 dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018. Pollycarpus meninggal dunia pada 17 Oktober 2020 akibat COVID-19.

Hasil Investigasi yang menghilang

Munir Said Talib (Sumber: Wikimedia Commons)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat membentuk tim pencari fakta (TPF) untuk mengetahui kebenaran di balik kematian Munir. Dilaporkan bahwa hasil investigasi sudah disampaikan ke SBY pada 24 Juni 2005.

Meski demikian, hasil investigasi itu tidak tersampaikan ke publik, bahkan hingga SBY menyelesaikan tugasnya sebagai presiden. Joko Widodo (Jokowi) berjanji menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, salah satunya kasus Munir.

Jokowi menyampaikan janji itu saat menerima sejumlah pakar dan praktisi hukum di Istana Merdeka, Jakarta, pada 22 September 2016. Jokowi menyatakan komitmennya menuntaskan kasus-kasus tersebut.

Namun dilaporkan bahwa hasil laporan TPF hilang. KontraS segera mendatangi kantor Sekretariat Negara meminta penjelasan atas hilangnya TPF dan mendesak agar hasil TPF segera disampaikan. Namun hingga detik ini, laporan itu tidak kunjung disampaikan.

Pembunuhan Munir juga diyakini melibatkan institusi negara yaitu Badan Intelijen Negara (BIN) dan BUMN yaitu Garuda Indonesia. Semua eksekusi dilakukan secara sistematis, para pelaku terlihat mendapati perlindungan.

Aktor yang lebih besar dari Pollycarpus pun masih tidak diproses, contohnya mantan Kepala BIN AM Hendropiyono. Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 18 tahun merupakan batas waktu penyelesaian kasus pidana.

Tahun ini, kasus Munir sudah menginjak tahun ke-17. Artinya, tahun depan kasus Munir sudah kedaluwarsa. Jika hingga tahun depan kasus pembunuh Munir masih belum terkuak, sejarah HAM di Indonesia semakin buruk dan perlu dipertanyakan.

*Baca Informasi lain soal BERITA NASIONAL atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

BERNAS Lainnya