Melihat Alasan Kenapa OTT Ditakuti Penyelenggara Negara
JAKARTA - Operasi tangkap tangan (OTT) yang kerap dilakukan untuk menangkap koruptor jadi sorotan. Penyebabnya, kegiatan ini dianggap tak seharusnya dilakukan kepada polisi, jaksa, dan hakim serta dinilai menakutkan bagi para kepala daerah.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan jadi sorotan setelah meminta polisi, jaksa, dan hakim tak menjadi objek OTT. Pernyataan ini, kata dia, bukan semata-mata karena membela koruptor tapi ia menganggap aparat penegak hukum tadi sebagai simbol negara.
"Ke depan di Komisi III, kita juga sedang menginsiasi, saya pribadi, saya yakin yang namanya polisi, hakim, jaksa itu tidak boleh di-OTT. Bukan karena kita pro koruptor tapi karena mereka adalah simbol negara di bidang hukum," kata Arteria saat mengisi diskusi daring.
Dia mengatakan sebenarnya banyak cara untuk melakukan penindakan hukum terhadap perilaku korupsi selain OTT. Apalagi, Arteria menilai, operasi senyap kerap menimbulkan tudingan kriminalisasi dan politisasi.
Bukan cuma Arteria, Bupati Banyumas Achmad Husein beberapa waktu lalu juga bikin heboh. Dia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil lebih dulu para kepala daerah sebelum menggelar OTT.
Hal ini disampaikan Achamd Husein karena banyaknya pejabat daerah takut terjaring operasi senyap yang dilakukan KPK.
"Kami para Kepala Daerah, kami semua takut & tidak mau di-OTT. Maka kami mohon kepada KPK, sebelum OTT kami dipanggil dahulu. Kalau kemudian dia berubah, ya sudah lepas gitu loh. Tapi kalau tidak berubah, baru ditangkap," demikian disampaikan Achmad dalam video yang beredar dan bikin heboh tersebut.
Lalu apa yang jadi penyebab OTT banyak ditakuti oleh penyelenggara negara?
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo mengatakan wajar saja operasi senyap membuat banyak penyelenggara negara menjadi ketakutan. Setidaknya ada empat alasan yang menjadikan OTT seperti momok bagi para koruptor.
"OTT itu pasti selalu ditakuti. Mengapa? Pertama, karena peristiwa pidananya pasti ada, adanya unsur suap menyuap sudah jelas kemudian pelakunya jelas," kata Yudi seperti dikutip dari akun YouTubenya.
Baca juga:
Selanjutnya, praktik suap menyuap ini biasanya terang benderang karena tim satuan tugas (satgas) biasanya menemukan sejumlah barang bukti berupa uang dengan pecahan rupiah maupun mata uang asing. Selain itu, Yudi bilang, biasa ditemukan juga bukti transfer yang tercatat dalam buku tabungan juga cek.
"Kemudian keempat, OTT ini bisa berkembang," ujarnya.
Dari pengembangan ini, biasanya KPK akan menemukan tindak pidana korupsi lain yang terjadi sejak lama. "Pengalaman saya penerimaan uang dari penyelenggara negara atau penegak hukum biasanya penerimaan kesekian, artinya sebelumnya sudah ada penerimaan yang kesekian," jelas Yudi.
Tak hanya itu, Yudi mengungkap, komisi antirasuah juga menggunakan hasil penyidikan setelah OTT untuk menjerat pelaku lain.
"Yang paling penting dan juga ditakuti bukan hanya mereka yang tertangkap OTT tapi bahwa dari OTT bisa juga berkembang ke mana-mana. Misalnya, dari OTT kepala daerah bisa jadi pejabat di tingkat nasional bisa kena. dari pejabat tingkat rendah, pejabat tinggi bisa kena," ungkapnya.
"Artinya OTT masih jadi cara ampuh memberantas korupsi di negeri kita. Sebab, orang sudah tidak bisa lagi mengelak kalau dia melakukan tindak pidana korupsi," pungkas Yudi.