Perkenalkan, Siti Nurbaya Bakar, Menteri LHK, Pembangunan, Emisi Karbon, dan Deforestasi
JAKARTA - Lewat artikel ini kami berikan jabatan baru untuk Siti Nurbaya Bakar. Dari semula Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pembangunan, Emisi, dan Deforestasi. Disingkat LHKPED. Ya, menyesuaikan dengan gagasan yang ia kemukakan.
"Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," Siti Nurbaya mengunggah kicauan di Twitter, Rabu malam, 4 November.
"Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi."
Kicauan itu berbentuk utas, yang panjang lebar memaparkan konsep pengelolaan hutan demi perekonomian. Ada niat baik di situ, kata Siti. Ia mengangkat narasi tentang daerah-daerah yang perekonomiannya harus diangkat lewat akses jalan dan kebutuhan-kebutuhan mendasar lain yang melibatkan keberadaan hutan.
"Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya."
Utas tersebut mengundang kritik luas. Sebagian tegas mengecam pernyataan Siti. Lainnya menulis pesan-pesan sarkasme, yang intinya sama-sama kecaman terhadap Siti dan gagasannya. Posisi Siti sebagai Menteri LHK, yang paling bertanggung jawab melindungi pelestarian hutan turut dipertanyakan, tentu saja.
"Izin revisi tweet-nya: Pembangunan besar-besaran era Jokowi tidak sebanding dengan potensi krisis ekologis masif yang bisa memusnahkan manusia kurang dari satu abad ke depan. Menghentikan deforestasi dan membabat emisi adalah satu-satunya cara untuk kemanusiaan bisa bertahan," tulis @Afutami.
"Mantap nih menteri living up to her last name," @Padma_naba.
"When the Minister of Environment sees carbon emission & deforestation merely as obstacles to development, you know what's prioritized," tulis akun @margianta.
"Hey Everyone, this is our minister!" @itsRiant.
"No hope," @aparatmati.
"HOLY SPIRIT ACTIVATE," tulis @crawlitt.
"Saudara-saudara, kami perkenalkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia," @GreenpeaceID.
Menteri LHK, Pembangunan, Emisi, dan Deforestasi
Siti Nurbaya Bakar mengunggah pernyataan itu sesaat setelah KTT perubahan iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia. Indonesia, kata Siti menuai pujian di sana. Presiden Jokowi dalam agenda itu mengungkap sejumlah langkah konkret Indonesia dalam menangani perubahan iklim, terutama terkait progres penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada tahun-tahun sebelumnya.
September lalu Siti sempat menjelaskan progres penanganan karhutla yang dilakukan kementeriannya. Menurut Siti pemutakhiran langkah dan strategi terus dilakukan sejak kebakaran hutan pada 2015 lalu. Pemerintah mengubah paradigma, dari semula memprioritaskan penanggulangan menjadi pencegahan.
Pada dasarnya ada tiga jalur pengendalian karhutla yang dilakukan Kementerian LHK selama ini. Prioritas pertama, pencegahan dan penanggulangan. Kedua, menggencarkan patroli dan operasi. Ketiga, terkait pengelolaan lanskap, tapak, dan gambut.
Menurut Siti pendekatan teknis yang disertai peningkatan sosial ekonomi "berdampak nyata terhadap penurunan hotspots yang kita rasakan selama 2016, 2017, 2018 hingga 2020."
Berdasar data luas area karhutla, diketahui terjadi penurunan tajam di 2020, yakni 82 persen. Sementara, emisi karbon karhutla pada 2019 berada di angka 456 juta ton CO2.
"Langkah-langkah penanganan karhutla menuju solusi permanen dengan jalur penanganan dalam kontrol satuan tugas karhutla di tiap tingkat atau strata pemerintahan, dari nasional hingga ke tingkat tapak," ujar Siti melalui keterangan tertulis waktu itu.
"Pada 2020, turun menjadi 31 juta ton CO2 atau turun sebesar 93 persen. Tahun 2021 harusnya lebih kecil lagi karena menurut badan meteorologi dunia juga NASA, 2020 itu lebih panas dari 2021," sambung keterangan tersebut.
"Keberhasilan ini akan dibawa oleh Bapak Presiden Joko Widodo pada Climate Change Conference ke-26 di Glasgow Inggris bulan Oktober 2021," ucap Siti. Ya, di sanalah Jokowi kemarin.
"Statement-nya Bu Menteri buat kami, ya, kaget tapi tidak mengejutkan," tutur Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana, dihubungi VOI, Kamis, 4 November.
Celakanya tak ada yang keliru dengan pernyataan Siti Nurbaya Bakar. Iya tidak keliru karena pernyataan tersebut memang menggambarkan arah kebijakan pemerintah sejak lama, yang semakin parah hari ini. Dan ini dilakukan secara sadar. Artinya pernyataan Siti bukan blunder media sosial belaka.
"Kita melihatnya ini bukan hanya problem di Kementerian LHK. Bahkan menurut kami ini pilihan pemerintahan saat ini. Menomorduakan lingkungan. Rakyat, sayangnya," kata Wahyu.
Melihat omnibuslaw UU Cipta Kerja, misalnya. Omnibuslaw secara spesifik menghilangkan batas minimum kawasan hutan 30 persen yang dahulu diatur oleh UU Tata Ruang dan Kehutanan. Fakta yang amat mengkhawatirkan tentu saja dalam konteks deforestasi.
Dan ketentuan baru omnibuslaw itu akan jadi kabar buruk bagi upaya perlindungan hutan yang sejak lama digerus ambisi sawit. Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Februari 2019 menunjukkan peningkatan signifikan.
Pada tahun 2000, luas perkebunan kelapa sawit tercatat 4.158.077 hektare. Sementara, pada 2018, kebun sawit terus meluas hingga 14.309.256 hektare. Dalam kurun waktu 18 tahun, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat hingga 244,13 persen.
Parahnya lagi BPK menemukan banyak pemanfaatan kawasan hutan untuk berbagai kegiatan dilakukan secara tidak sah. Berdasar pengamatan citra satelit oleh Kementerian LHK, terdapat pemanfaatan kawasan hutan untuk perkebunan sawit secara tidak sah di beberapa titik.
Kawasan-kawasan tersebut, antara lain di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Tesso Nilo, Taman Nasional Berbak Sembilang, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Apa dampaknya? Olahan kelapa sawit Indonesia di-blacklist.
Dokumen laporan Parlemen Uni Eropa berjudul On Palm Oil and Deforestation of Rainforests menetapkan hambatan dagang bagi produk olahan kelapa sawit Indonesia. Salah satu alasannya adalah cara Indonesia membuka lahan perkebunan yang mendorong deforestasi, menyebabkan kebakaran hutan dan berkurangnya keanekaragaman hayati.
Bahkan jika tujuan segala pembabatan ini adalah ekonomi, ini bukan cara yang tepat. "Pemanfaatan kawasan hutan secara tidak sah untuk perkebunan sawit ini jadi salah satu alasan isu internasional jadi hambatan perdagangan produksi kelapa sawit di Eropa," tertulis di laporan.
Untuk ekonomi siapa?
Tak usah menerka-nerka soal arah kebijakan lingkungan Siti. Sejak awal menjabat di periode keduanya, Siti jelas menegaskan arah kebijakan KLHK sepanjang lima tahun ke depan adalah ekonomi. Sektor kehutanan dijanjikan berperan penting dalam pembangunan ekonomi.
Setidaknya ada dua hal yang jadi fokusnya: penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hutan. Dua hal ini terkait dengan dukungan pemerintah daerah. Maka yang Siti kedepankan adalah penyederhanaan perizinan, misalnya izin pinjam pakai untuk jalan, listrik, geothermal, dan waduk. Prosesnya dipastikan singkat jika seluruh syarat dipenuhi.
“Saya pernah tes dan bila syarat-syarat dari pemohon izin sudah lengkap, maka sebetulnya dalam waktu 11 hari Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) ternyata selesai. Jadi sudah banyak hal yang coba diperbaiki,” kata Siti Nurbaya dalam diskusi panel bertema Transformasi Ekonomi II, sebagaimana dilansir situs resmi Kementerian LHK.
Ini selaras dengan penjelasan Siti dalam utasnya yang viral. Ia tak ingin kebijakan zero deforestation 2030 dipaksakan kepada Indonesia. "Jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya."
"Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya," tulis Siti.
Terdengar menenangkan tentu saja narasi pro rakyat ini. Tapi bagaimana dengan kenyataannya? Merujuk data Kementerian LHK sendiri, tepatnya yang dirilis Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (Ditjen PDASRH), tampak angka Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan Pelepasan Kawasan Hutan untuk kepentingan non-tambang amat kecil dibanding untuk kepentingan tambang.
Data di atas, kata Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana menunjukkan pernyataan Siti tak sesuai fakta lapangan karena kepentingan non-tambang yang dimaksud di atas termasuk pembukaan akses jalan, sebagaimana dikatakan Siti dalam kicauan Twitternya.
Sikap Siti menolak zero deforestation 2030 pun patut dipertanyakan. Menghentikan penebangan hutan sangat penting dalam upaya menekan emisi karbon. Catatan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan faktor terbesar yang berdampak untuk perubahan iklim ada pada sektor yang disebut AFOLU, akronim dari agriculture, forestry, and other land use.
"Artinya menjaga lahan tetap baik, mengembalikannya pada fungsi ekologisnya, itu punya dampak signifikan terhadap perubahan iklim," kata Wahyu kepada VOI, Kamis, 4 November.
"Seakan-akan publik melihatnya butuh jalan, macam-macam. Padahal cuma berapa persen. Setengahnya saja enggak sampai," tambah Wahyu.
Pada dasarnya, segala kebijakan suram ekonomi-lingkungan ini disebabkan pola pikir yang salah tentang pencapaian ekonomi. "Bagaimanapun pada akhirnya kalau pendekatannya growth, itu yang dihitung konsumsi. Kita akan meletakkan pendekatan eksploitatif dalam menghitung ekonomi kesejahteraan."
"Padahal buat masyarakat yang tinggal di lingkungan baik di pesisir, kalau dia mendapatkan ikan tidak perlu juga membeli. Di kampung saya, misalnya di Pulau Bawean. Orang bisa pancing kerapu bisa hanya berdiri di pinggir karang."
"Buat orang yang hidup di hutan, setengah dari kebutuhan hidupnya bisa jadi dipenuhi. Buat orang yang hidup di tengah ekosistem air baik, bisa jadi dia tidak perlu PDAM. Itu akhirnya dalam konteks pendekatan menghitung PDB sebagai angka pertumbuhan ekonomi dianggap tidak dihitung akhirnya."
*Baca Informasi lain soal LINGKUNGAN atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.