JAKARTA - Survei Indikator Politik Indonesia membuktikan lebih banyak masyarakat yang tak mau mendapatkan vaksinasi COVID-19 dosis ketiga atau booster.
Menanggapi hal ini, ahli epidemiologi dari Griffith Universtiy Australia, Dicky Budiman menyebut hal ini merupakan efek dari strategi komunikasi risiko pemerintah yang tidak terlalu kuat.
Dicky menganggap, sering kali pemerintah menyampaikan kabar mengenai penanganan pandemi hanya pada sisi positifnya. Sementara, aspek negatif dalam arti apa adanya minim diutarakan.
"Data itu netral. Pemerintah harus sampaikan apa yang positif dan apa yang masih lemah, apa progres kondisi pandeminya dan apa yang masih jadi tantangannya," kata Dicky kepada VOI, Senin, 10 Januari.
Dicky berujar, strategi komunikasi risiko yang perlu dibangun pemerintah harus dibenahi. Bukan hanya masalah komunikasi, tapi juga manajemen risiko.
"Tata kelola, transparansi, hingga membangun kepercayaan itu bagian dari strategi komunikasi risiko. Memang berat untuk diimplementasikan. Tapi, setidaknya ini akan menjadi bekal untuk ke depan pada pandemi atau ancaman wabah berikutnya," ungkap Dicky.
BACA JUGA:
Diketahui, survei Indikator menunjukkan mayoritas responden enggan menerima vaksinasi booster. Sebanyak 54,8 persen tidak setuju menerima vaksin booster, sementara 41,7 persen setuju.
Survei ini dilakukan pada periode 16 sampai 11 Desember 2021 kepada responden warga negara Indonesia yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.
Survei dilakukan melalui wawancara tatap muka kepada 1.220 responden yang dipilih secara acak. Ada pun margin of error survei ini diperkirakan sekitar 2,9 persen dan tingkat kepercayaan survei sebesar 95 persen.
Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi memandang, keengganan masyarakat atas vaksin booster ini bisa menjadi masalah tersendiri dari pelaksanaan vaksinasi COVID-19.
Burhanuddin mengungkapkan, jika banyak masyarakat yang enggan mengikuti program vaksinasi pemerintah seperti booster dan vaksinasi anak, maka ada potensi stok vaksin menjadi kedaluwarsa.
"Ini yang menyebabkan isu terkait dengan beberapa vaksin yang tidak segera terdistribusi, itu potensial expired karena makin lama makin sulit untuk dicari warga yang bersedia untuk divaksin. Sementara vaksinnya ada, tetapi kalau secara psikologis masyarakat menolak, itu juga jadi masalah," jelas Burhanuddin.