Mungkinkah Ada Partai Baru Masuk ke Dalam Kabinet Jokowi Jika Terjadi Reshuffle?
Presiden dan para menteri di Kabinet Indonesia Maju (Foto: Sekretariat Kabinet)

JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengatakan tak segan melakukan reshuffle atau perombakan terhadap menteri di kabinetnya yang bekerja biasa saja saat krisis akibat pandemi COVID-19. Jika reshuffle benar-benar dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, mungkinkah dia menggandeng partai di luar pemerintahan untuk masuk ke dalam kabinetnya?

Diketahui, dari sembilan partai yang ada di DPR RI, hanya tiga partai yang berada di luar koalisi pemerintahan. Partai tersebut adalah Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Melihat kondisi tersebut, pengamat politik LIPI, Aisah Putri Budiarti menilai kemungkinan masuknya partai baru dari luar koalisi pemerintah bukanlah hal yang baru. Dia mencontohkan, pada periode pertama kepemimpinan hal semacam ini juga pernah terjadi ketika Jokowi memasukkan kader dari partai di luar koalisi pendukungnya.

"Menteri baru dari partai yang baru bergabung di tengah masa kabinet bekerja saat reshuffle bukan hal yang baru dilakukan oleh Presiden Jokowi, kalau kita ingat kasus PAN dan Golkar pada periode pertama," kata Putri ketika dihubungi VOI, Jumat, 3 Juli.

Hanya saja dia menilai kemungkinan bergabungnya partai baru di dalam koalisi tidak akan begitu besar seperti pada periode pertama. Alasannya, koalisi pendukung pemerintah di periode ini begitu gemuk.

Kalaupun ada partai baru yang masuk ke dalam koalisi, kata Putri, yang paling mungkin adalah Partai Demokrat yang kini dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono. Sebab, partai berlambang bintang mercy ini sudah melakukan pendekatan dengan koalisi pendukung pemerintah.

"Terindikasi dari pertemuan AHY dengan Jokowi-Ma'ruf Amin dan Airlangga bertemu dengan SBY belum lama ini," ujarnya

"Namun tentunya kita tidak tahu apakah pertemuan-pertemuan itu berarti lebih dan berakhir pada bergabungnya Demokrat dalam koalisi pemerintahan," imbuhnya.

Diketahui, pada akhir bulan Juni yang lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menemui Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta.

Pertemuan itu adalah pertemuan balasan karena sebelumnya eks Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dikunjungi oleh Airlangga di kediamannya.

Usai pertemuan tertutup, Airlangga mengatakan kunjungan itu adalah kunjungan silaturahmi untuk membahas sejumlah hal seperti fase kenormalan baru, kondisi kenegaraan, hingga berbagai hal yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Sementara AHY mengaku, dirinya sudah melakukan pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor dan menemui Wakil Presiden Ma'ruf Amin di kediamannya usai gelaran kongres partainya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi marah dan menegur menteri yang bersikap biasa saja dalam pengambilan keputusan meski saat ini suasananya sedang krisis akibat pandemi COVID-19.

"Tindakan-tindakan kita, keputusan-keputusan kita, kebijakan-kebijakan kita, suasananya harus suasana krisis. Jangan kebijakan-kebijakan biasa saja, menganggap ini sebuah kenormalan. Apa-apaan ini," kata Jokowi dalam video yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu, 28 Juni.

Dia menilai, di masa seperti ini seluruh kebijakan harusnya sesuai dengan kondisi krisis. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini bahkan mengatakan, dalam kondisi krisis, dirinya bahkan siap mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan Peraturan Presiden (Perpres). 

Di hadapan para menterinya, Jokowi menyinggung beberapa hal. Pertama mengenai belanja di sejumlah kementeriannya. Dari hasil laporan yang diterimanya, dia melihat capaiannya masih biasa-biasa saja. Padahal, dia berharap dengan adanya belanja besar-besaran di kementerian akan memacu perekonomian di Indonesia yang tengah lesu akibat pandemi COVID-19.

Dia mencontohkan Kementerian Kesehatan. Kata Jokowi, kementerian ini mendapatkan anggaran sebesar Rp75 triliun. Namun, yang dibelanjakan baru 1,53 persen. Padahal, makin cepat uang ini dikeluarkan, maka akan terjadi trigger ekonomi.

Jokowi juga menyinggung pembayaran untuk dokter, dokter spesialis, dan tenaga medis yang mesti segera diproses dan dikeluarkan. "Belanja-belanja untuk peralatan segera dikeluarkan. Ini sudah disediakan Rp70-an triliun seperti itu," ungkapnya.

Terakhir sebelum menutup pidatonya, Presiden Jokowi meminta semua pihak di pemerintahan melangkah dengan luar biasa dan tidak menjadikan peraturan yang ada sebagai sebuah halangan. Apalagi, dirinya mengaku siap untuk membuat Perppu selama untuk kepentingan rakyat dan untuk negara. 

"Asal untuk rakyat, asal untuk negara, saya pertaruhkan reputasi politik saya. Sekali lagi, tolong ini benar-benar dirasakan kita semua. Jangan sampai justru ada hal yang mengganggu," katanya.

Dia juga mengaku siap membuka langkah politik maupun langkah pemerintahan agar segala kebijakannya bisa berjalan untuk menghadapi pandemi COVID-19.

Jokowi mengaku tak segan-segan melakukan reshuffle atau pergantian kabinet dan membubarkan lembaga yang tak bekerja dengan maksimal di tengah kondisi ini. "Bisa saja membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle. Udah kepikiran kemana-mana saya. Atau buat Perppu yang lebih penting lagi kalau memang diperlukan," tegasnya.

"Artinya tindakan-tindakan yang extraordinary keras akan saya lakukan. ... Saya betul-betul minta pada bapak, ibu, dan saudara sekalian mengerti, memahami apa yang tadi saya sampaikan. Kerja keras dalam suasana ini sangat diperlukan. Kecepatan dalam suasana ini sangat diperlukan," pungkasnya.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)