Apakah Sanksi Bisa Timbulkan Efek Jera Bagi Pelanggar Protokol Kesehatan?
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengapresiasi diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan. Dengan adanya inpres tersebut, Saleh berharap penularan COVID-19 di tengah masyarakat dapat ditanggulangi.
Hanya saja, dia menyoroti beberapa hal termasuk mempertanyakan apakah sanksi yang terdapat pada Inpres tersebut bisa diterapkan dengan baik di tengah masyarakat.
Diketahui, dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2020 itu terdapat sejumlah sanksi yang dijatuhkan pelanggar protokol kesehatan. Sanksi tersebut berupa teguran lisan maupun teguran tertulis, kerja sosial, denda administratif, penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.
"Apakah sanksi-sanksi di atas bisa dilaksanakan dengan baik? Lalu, apakah sanksi-sanksi tersebut bisa menimbulkan efek jera," kata Saleh dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6 Agustus.
Apalagi, meski pemberian sanksi teguran lisan dan tertulis sudah sering dilakukan oleh petugas terhadap masyarakat, nyatanya, pelanggaran protokol kesehatan masih tetap terjadi di tengah masyarakat.
Ketua Fraksi PAN ini juga menyoroti soal pemberian sanksi sosial bagi masyarakat pelanggar protokol kesehatan. "Kalau kerja sosial, bagaimana mengawasinya? Dimana mereka harus dipekerjakan," tegasnya.
Begitu juga dengan sanksi administratif. Kata Saleh, hal ini harus diperjelas agar Inpres terhadap pelanggar protokol kesehatan bisa dilaksanakan secara efektif.
Lebih lanjut, Saleh juga menilai Inpres ini belum bisa langsung diaplikasikan di masyarakat karena menunggu aturan turunan dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah (Perda).
Sehingga, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian perlu untuk memonitor pergerakan kepala daerah untuk membuat aturan turunan tersebut.
“Kalau perlu, Mendagri memberikan batas waktu. Dengan begitu turunan inpres tersebut dapat dilaksanakan secara bersamaan di seluruh Indonesia," ungkapnya.
Senada dengan Saleh, peneliti kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Defny Holidin menilai penerbitan ini merupakan itikad baik dari Presiden Jokowi untuk menertibkan masyarakat di tengah penambahan kasus COVID-19 harian.
Dia sepakat jika masyarakat harus diatur. Sebab, di dalam ilmu sosial, masyarakat merupakan entitas yang tidak terstruktur dan akan menjadi kerumunan ketika tidak diatur. Hanya saja, dia menilai penerapan sanksi tersebut sebenarnya bukan menjadi hal yang penting karena yang terpenting saat ini adalah sistem yang dibuat oleh pemerintah.
"Dari ilmu sosial masyarakat itu perlu distrukturisasi oleh kelembagaan. Nah, strukturisasi pemerintah itu dibuat pemerintah dengan membuat aturan main dan sanksi itu datang belakangan. Dia menjadi backdoor untuk menutupi celah dalam sistem," kata Defny saat dihubungi VOI.
另请阅读:
Dia juga mempertanyakan sistem atau aturan yang telah dibuat pemerintah sebelumnya dalam menangani pandemi COVID-19. Karena hingga saat ini tidak ada kemajuan signifikan dalam penangan virus ini di tengah masyarakat.
"Jangankan gelombang kedua, gelombang pertama ini saja belum selesai," tegasnya.
Defny menilai, pemerintah juga terkesan lamban dalam menerbitkan aturan yang ada. Dia bahkan mengatakan ada permasalah sistemik di dalam penanganan pandemi ini dan sudah terjadi sejak awal.
"Tepat pada titik ini, menurut saya sistem ini bermasalah karena dimulai dari pemerintah. Jadi ini akumulasi dari masalah pelembagaan, aturan main pemerintah yang salah atau keliru sejak asumsi awal," ujar Defny.
"Ini masalah sistemik yang bisa diatasi dan bisa dilakukan sedini mungkin. Kalau pun sekarang terlambat pemerintah bisa memperbaiki dengan berhenti membuat kebijakan blunder yang bertabrakan dengan prinsip good governance," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. Inpres yang mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19 itu ditandatangani Jokowi pada 4 Agustus.
Dalam poin 5 inpres ini dijelaskan sanksi ini bisa dijatuhkan bagi semua pelanggar protokol kesehatan seperti perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.
Adapun tempat dan fasilitas umum yang dimaksud adalah perkantoran, usaha dan industri, sekolah dan institusi pendidikan lainnya, tempat ibadah, stasiun, terminal, pelabuhan dan bandara, transportasi umum, kendaraan pribadi, toko, pasar modern dan pasar tradisional, apotek dan toko obat, warung makan, rumah makan, kafe, dan restoran pedagang kaki lima, perhotelan, tempat wisata, serta fasilitas pelayanan kesehatan.
Protokol kesehatan yang harus ditaati adalah menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu jika harus keluar rumah atau interaksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya, membersihkan tangan secara teratur, pembatasan interaksi fisik (physical distancing), dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).