Puncak acara Hari Pers Nasional (HPN) 2025 digelar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tema peringatan tahun ini, “Pers Menjaga Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa”, menegaskan peran strategis insan pers sebagai penjaga kedaulatan informasi sekaligus pendukung keberlanjutan bangsa.
Sejarah panjang pers Indonesia membuktikan bahwa wartawan tidak hanya sebagai pencatat, tetapi juga pejuang. Dari Kongres Pers di Surakarta pada 1946 hingga tantangan era digital saat ini, pers selalu berada di garis depan perjuangan bangsa. Namun, apakah peran pers masih sekuat itu?
Pada 9 Februari 1946, di tengah penjajahan Belanda yang kembali mencengkeram Indonesia, 180 wartawan dari berbagai daerah berkumpul di Surakarta. Perjalanan mereka penuh risiko, termasuk Manai Sophiaan, wartawan dari Makassar, yang membutuhkan waktu 35 hari naik kapal untuk mencapai Solo.
Dalam kongres itu, lahirlah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Mereka menegaskan sumpah, “Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa serta selalu mengingat akan Persatuan Bangsa dan Kedaulatan Negara.” Pernyataan ini menjadi pedoman moral yang mempertegas peran pers sebagai penjaga perjuangan bangsa, bukan sekadar pelapor peristiwa.
Dalam peringatan HPN 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang hadir di puncak acara, mengingatkan keterikatan pers dengan seni budaya. Ia menyoroti tokoh-tokoh seperti Mochtar Lubis dan Djamaluddin Adinegoro. Kedua tokoh ini membuktikan bahwa wartawan juga mampu menggunakan seni sebagai medium perjuangan.
Mochtar Lubis, misalnya, adalah seorang wartawan dan novelis yang lantang mengkritik rezim Soekarno dan Soeharto. Ia dipenjara, tetapi tetap teguh menyuarakan kebenaran melalui tulisan-tulisannya. Kisahnya menunjukkan bahwa wartawan adalah suara bagi mereka yang tak bersuara.
Dalam pidatonya terkait HPN 2025, Presiden Prabowo Subianto mengingatkan bahwa pers harus tetap memegang teguh Pancasila sebagai dasar kerja. Ia meminta pers Indonesia untuk terus setia pada cita-cita bangsa dan berperan aktif dalam pembangunan negara.
BACA JUGA:
Namun, tantangan pers di era digital tidak mudah. Dominasi konten viral dan algoritma media sosial sering kali menggeser fokus dari kualitas ke popularitas. Apakah pers Indonesia masih mampu menjaga objektivitas, atau justru terjebak dalam tren pasar yang dangkal?
Tema HPN 2025, “Pers Menjaga Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa”, membawa perhatian pada isu strategis yang melibatkan inovasi, kebijakan, dan partisipasi masyarakat. Dalam konteks ini, pers memiliki peran besar untuk mendidik publik, memantau kebijakan, dan mendorong perubahan perilaku.
Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga distribusi dan keberlanjutan. Pers harus menjadi jembatan informasi, memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar slogan politik.
Pers tidak boleh kehilangan marwahnya. Seperti yang ditegaskan pada Kongres PWI 1946, wartawan memiliki tanggung jawab besar untuk bekerja demi kepentingan bangsa dan negara. Di era disinformasi, pers harus menjadi penjaga kebenaran dan independensi informasi.
Hari ini, tantangan mungkin berbeda, tetapi esensinya tetap sama: menjaga kepentingan bangsa di atas segalanya. Jika pers kehilangan keberanian untuk menyuarakan kebenaran, siapa lagi yang akan melakukannya?
Peringatan Hari Pers Nasional 2025 adalah momentum untuk merefleksikan perjalanan panjang pers Indonesia. Dari Surakarta 1946 hingga Banjarmasin 2025, pers telah membuktikan diri sebagai penjaga kedaulatan bangsa sekaligus penggerak perubahan.
Namun, tugas ini tidak pernah selesai. Di tengah arus digital yang serba cepat, insan pers dituntut untuk tetap setia pada cita-cita pendiri bangsa: menjadi pers yang Pancasilais, dinamis, dan berkomitmen menjaga kepentingan negara. Karena sejatinya, pers bukan hanya soal memberitakan fakta, tetapi juga menjaga masa depan bangsa.