Presiden Prabowo Subianto tegas memerintahkan: pagar laut misterius sepanjang 30 kilometer di pesisir Tangerang harus dibongkar. Tidak lama, TNI AL bertindak cepat. Namun, muncul pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari proyek ini? Pembongkaran ini hanyalah awal dari persoalan panjang yang menyelimuti laut Indonesia, di mana hak masyarakat pesisir kerap diabaikan demi segelintir elit.
Bayangkan, seorang nelayan bangun pagi dengan harapan mengais rezeki di laut, tetapi mendapati akses menuju laut tertutup pagar. Heru, seorang nelayan di Pulau Cangkir, Kronjo, Kabupaten Tangerang, mengalami kerugian besar. Alat tangkapnya rusak, jumlah tangkapannya pun merosot tajam.
“Perjalanannya jadi sulit, harus memutar-mutar. Jorannya sering tersangkut. Biasanya saya dapat 10 kg ikan, sekarang cuma 2 kg,” kata Heru, seperti dikutip VOI. Kisah Heru hanyalah salah satu contoh realitas pahit yang mungkin dialami oleh ribuan nelayan di Pantura. Pagar bambu dan jaring yang tiba-tiba muncul ini membentang sepanjang 30 kilometer, memblokir akses nelayan ke wilayah tangkapan ikan.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Ombudsman, pagar ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga menghancurkan penghidupan nelayan. Mereka tidak pernah diberi pemberitahuan atau izin atas pembangunan pagar tersebut. Walhi bahkan menyatakan bahwa pagar ini mencederai hak akses masyarakat pesisir terhadap laut, yang semestinya dijamin oleh negara.
Penyelidikan lebih lanjut menemukan indikasi keterlibatan kelompok besar, termasuk dugaan kaitan dengan proyek strategis nasional (PSN) yang dikelola pengembang besar seperti Agung Sedayu Group. Meski pihak pengembang cepat membantah, Ombudsman RI mengungkap ada dugaan maladministrasi serius dalam proyek ini. Ironisnya, beberapa tokoh desa disebut memberi izin pembangunan pagar tanpa persetujuan warga.
"Bagaimana mungkin proyek sebesar ini luput dari pantauan Polairud?" ungkap Wakil Ketua Komisi III DPR, Hinca Panjaitan. Lalu, kenapa aparat baru bertindak setelah kasus ini viral di media. Apakah perhatian pemerintah hanya muncul setelah tekanan publik? Fenomena ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan respons cepat di negara ini.
BACA JUGA:
Polemik pagar laut tidak hanya terjadi di Tangerang. Di Bekasi, pagar serupa muncul dalam bentuk kerja sama antara pemerintah Jawa Barat dan pihak swasta. Kasus ini mengindikasikan bahwa masalah ini bersifat sistemik. Tanpa transparansi dan pengawasan ketat, kebijakan pembangunan terus mengorbankan pihak yang lemah.
Walhi menyebut pagar ini tidak hanya menghancurkan ekosistem laut tetapi juga menegaskan ketimpangan kekuasaan antara rakyat kecil dan pemilik modal besar. Laut seharusnya menjadi ruang publik, bukan milik individu atau korporasi. Ketika akses ini dirampas, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan keberlanjutan sumber daya laut pun terancam.
Meski Presiden telah memerintahkan pembongkaran, apakah langkah ini cukup? Regulasi perlindungan nelayan dan lingkungan masih terlihat lemah. Tanpa perubahan sistemik, pagar-pagar serupa berpotensi muncul kembali dengan dalih “proyek strategis”.
Kasus ini adalah potret nyata keserakahan. Pagar ini bukan hanya tentang bambu atau jaring yang mencabik laut, tetapi juga tentang hak hidup nelayan yang diabaikan. Ketika pagar ini dicabut, bukan hanya ruang laut yang terbebas, tetapi juga harapan masyarakat kecil untuk hidup lebih baik.
Sebagai bangsa maritim, Indonesia harus memastikan laut tetap menjadi sumber kehidupan bagi semua, bukan hanya segelintir elit yang bersembunyi di balik proyek besar. Kita sangat menyambut baik pagar laut dibongkar namun, kita juga menunggu pernyataan resmi siapa pihak yang bertanggung jawab di balik pembuatan pagar laut? Biaya membuat pagar sepanjang puluhan kilo itu rasanya tidak murah.