JAKARTA - Film drama keluarga Mungkin Kita Perlu Waktu (All We Need is Time) karya sutradara dan penulis naskah Teddy Soeriaatmadja, produksi Kathanika Films, Adhya Pictures dan Karuna Pictures, akan tayang perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dalam kompetisi Indonesian Screen Awards, tanggal 2-3 Desember 2024 di Empire XXI, Yogyakarta. Kompetisi ini mengapresiasi film panjang Indonesia terbaik, di mana film MKPW menjadi salah satu dari enam film yang lolos seleksi.
Film berdurasi 95 menit ini menceritakan kisah Ombak (Bima Azriel), Ayah Restu (Lukman Sardi), dan Ibu Kasih (Sha Ine Febriyanti) yang harus melanjutkan hidup pasca kehilangan anggota keluarga, Sara (Naura Hakim) yang mereka cintai. Restu berusaha baik-baik saja di hadapan anak dan istrinya. Kasih bersikeras pergi umroh untuk mengatasi kesedihannya serta Ombak yang kerap dihantui rasa bersalah.
Bayang-bayang trauma, serta buruknya komunikasi satu sama lain, membuat situasi semakin runyam. Semua pergulatan tersebut seperti bom waktu yang menunggu meledak. Di tengah semuanya, Ombak bertemu dengan Aleiqa (Tissa Biani), seorang gadis penyandang bipolar yang membawa secercah harapan dalam hidupnya. Bagaimana nasib Ombak dan keluarga selanjutnya?
SEE ALSO:
Lukman Sardi, Chief Executive Officer Kathanika Films sekaligus produser dan salah satu pemain mengatakan, Senang sekali film ini yang juga merupakan proyek pertama dari Kathanika Films bisa masuk kompetisi di JAFF sebelum tayang di bioskop.
"Kami berharap film ini dapat diapresiasi dan diulas oleh para pecinta film festival dari berbagai sisi, sehingga value dan kesan-kesan dari film ini bisa lebih dulu sampai kepada masyarakat luas sebagai calon penonton nanti di bioskop," ujar Lukman Sardi dalam keterangan resminya.
Sutradara Teddy Soeriaatmadja mengatakan, mengangkat cerita keluarga selalu menjadi perjalanan kreatif yang menantang sekaligus memikat, karena di balik tema yang universal dan akrab, tersimpan lapisan kompleksitas emosional yang mendalam.
Ia menambahkan, keluarga, dengan segala dinamikanya, menjadi cerminan kehidupan—dari relasi antara anak remaja dan orang tua hingga pergulatan pasangan suami-istri dalam menghadapi trauma yang mereka sembuhkan dengan cara masing-masing.
"Saya percaya, hadirnya film ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga sebuah medium yang mampu merangkum dan merepresentasikan spektrum emosi yang begitu kaya. Harapan saya, melalui narasi yang otentik dan konflik yang manusiawi, penonton dapat menemukan resonansi, introspeksi, serta pengalaman sinematik yang penuh rasa," tutupnya.