Resensi Film <i>Nagabonar Reborn</i> - Konflik Tanggung dan Plot yang Terlalu Cepat
Salah satu adegan dalam Nagabonar Reborn (Instagram @filmnagabonar)

Bagikan:

JAKARTA - Sosok Nagabonar kembali dihadirkan dalam film bertajuk Nagabonar Reborn garapan Dedi Setiadi. Sejak pertama kali difilmkan pada 1987, setiap seri yang dirilis senantiasa dinantikan penggemarnya. Yang diharapkan pada pembuatan ulang sebuah film kondang pada zamannya adalah kualitasnya.

Karakter Nagabonar, sang jenderal cerdik, berani dan lucu yang berasal dari Sumatera Utara itu sudah sangat melekat di benak para pecinta film Indonesia. Hadirnya Nagabonar Reborn tentu saja secara tidak langsung akan menuntun penonton untuk membandingkan dengan versi awal film tersebut.

Jika sebelumnya Nagabonar identik dengan Deddy Mizwar. Kali ini, tokoh dalam film tersebut diperankan oleh Gading Marten. Nagabonar Reborn berbeda dengan film-film sebelumnya. Sebab, menitikberatkan pada karakter utama, mulai dari kehidupan pribadi, kisah percintaan hingga persahabatan.

Ada pelbagai hal yang diubah demi kepentingan film. Karakter Nagabonar tidak lagi dikenal sebagai pencopet seperti dalam dua film sebelumnya yang diperankan aktor Deddy Mizwar. Sementara itu, kepribadian Nagabonar yang suka bercanda, lugu, patuh pada ibu dan setia kawan tetap dihadirkan dalam film. Nagabonar yang begitu cinta Tanah Air juga masih ditonjolkan walau kadang samar karena dibumbui asmara.

Dibandingkan film terdahulu, 15 menit awal tentu sangat berbeda. Di sini, ada cerita masa kecil seorang Nagabonar yang sangat dramatis. Nagabonar dan sahabat-sahabat masa kecilnya mencuri perhatian ketika berdebat mengenai buah mangga hasil curian. Meski dialog mereka terkesan terlalu lambat untuk suatu obrolan anak-anak Batak, tapi penampilan para pemain cilik itu sudah sangat bagus.

Saat dewasa, Nagabonar merantau ke Medan agar bisa hidup lebih baik bersama ibunya yang dimainkan Rita Matumona. Perantauan ini justru membuatnya bertemu kembali dengan sahabat-sahabat masa kecil, Lukman yang dimainkan Rifky Alhabsyi dan Mariam yang diperankan Roby Tremonti, lalu seorang gadis menawan bernama Kirana yang dimainkan Citra Kirana.

Kirana bukan gadis biasa, dia kekasih Kapten Bastian (Delano Daniel), yang saat itu diutus pemerintah Kolonial Belanda mengawasi Medan. Dia juga putri seorang dokter antek Belanda (Gusti Randa).

Bak pemuda dimabuk asmara pada umumnya, Nagabonar yang pengangguran bermimpi mempersunting Kirana. Apalagi ada berbagai pertemuan tak disengaja yang seakan menjadi peluang Nagabonar untuk mendekat selangkah demi selangkah pada pujaan hatinya itu.

Setelah menjadi pimpinan pasukan, Nagabonar membawa serta ibunya untuk tinggal bersama di kamp pasukannya. Di tempat yang sama juga ada Kirana yang statusnya sebagai tawanan perang. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Nagabonar dengan Belanda karena pembagian batas wilayah.

Nagabonar yang tampak lugu sering dianggap tidak serius memikirkan strategi berperang oleh Bujang (Ence Bagus). Ada kesan Nagabonar yang tiba-tiba menjabat sebagai seorang jenderal itu hanya berjuang demi cinta. Namun hal itu terpecahkan. Akhir kisahnya tentu saja sama dengan Nagabonar yang lama dan itu juga jadi masalah dari film ini.

Ketika dibandingkan - setelah 15 menit pertama yang cukup ciamik - plot yang disuguhkan berjalan begitu cepat. Sementara konflik yang dibangun juga dapat dibilang sangat tanggung, baik antara Nagabonar dengan Mariam maupun antara pasukannya dengan pasukan Belanda yang tersisa. 

Faktor durasi diduga menjadi penyebab utama timbulnya kebingungan dalam menonton film ini. Durasi film ini kurang lebih sama dengan sebelumnya. Namun, di sini, 15 menit pertama dipakai untuk kisah baru. Sementara, poin-poin pada film terdahulu seperti rapat penentuan pangkat maupun adegan perang dengan Belanda tetap ada. 

Kemunculan Puan Maharani mungkin bakal membuat kita bertanya-tanya. Sebab, seluruh elemen sebelum adegan Puan Maharani pidato sama sekali tidak menunjukkan atau bahkan memberi clue (petunjuk) untuk menjelaskan siapa si perempuan yang tadinya tidak ada, tiba-tiba ada. Apalagi pidatonya begitu heroik, ditimpali seluruh rakyat pula.

Padahal, peran Puan sebenarnya cukup penting. Dia menjadi utusan Soekarno yang bertugas mengumumkan kemerdekaan Indonesia di daerah Sumatera Utara.

Ketua DPR Ri Puan Maharani setelah nobar Nagabonar Reborn di Plaza Senayan, Jakarta Selatan (Mery Handayani/VOI)