JAKARTA - Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan gizi anak-anak melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG), penyertaan susu dalam menu harian siswa menjadi salah satu langkah strategis.
Susu tidak hanya kaya akan kalsium dan protein, tetapi juga mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. Kebijakan ini mengacu pada praktik global, di mana banyak negara telah memasukkan susu sebagai komponen utama dalam program makan di sekolah.
Menurut Epi Taufik, anggota Tim Pakar Susu dari Badan Gizi Nasional (BGN) Institut Pertanian Bogor (IPB), pemberian susu dalam program makan sekolah telah menjadi praktik umum di berbagai negara maju. “Dalam konteks gizi seimbang yang dikenal dengan prinsip B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman), susu menjadi bagian penting bersama karbohidrat, protein, dan lemak,” ujar Epi dalam diskusi daring yang diselenggarakan BGN, seperti dikutip ANTARA.
Ia menambahkan hingga kini, lebih dari 160 negara telah menerapkan program susu sekolah sebagai bagian dari strategi pemenuhan gizi anak. Negara-negara seperti Malaysia, Jepang, dan Tiongkok sudah lebih dahulu menjadikan susu sebagai asupan rutin di lingkungan pendidikan.
Menanggapi isu intoleransi laktosa yang kerap dikaitkan dengan rendahnya konsumsi susu di Indonesia, Epi menegaskan bahwa kondisi ini tidak perlu ditakuti secara berlebihan.
“Intoleransi laktosa bukanlah penyakit, melainkan kondisi di mana tubuh kekurangan enzim laktase. Ini bisa diatasi dengan melatih tubuh kembali melalui konsumsi susu secara bertahap,” jelasnya.
BACA JUGA:
Ia juga merujuk data dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang menunjukkan bahwa sebagian besar kasus intoleransi laktosa terjadi pada usia 20–50 tahun, dan biasanya dialami oleh individu yang tidak terbiasa mengonsumsi susu sejak kecil. Kebiasaan berhenti minum susu setelah masa menyusui, menurut Epi, turut mempengaruhi berkurangnya produksi enzim pencerna laktosa dalam tubuh.
“Sejak lahir, tubuh manusia sudah terbiasa mencerna laktosa melalui ASI yang mengandung laktosa dalam kadar cukup tinggi, sekitar 7 persen. Sementara laktosa pada susu sapi hanya sekitar 5 persen. Artinya tubuh kita secara alami sudah dirancang untuk mengolah laktosa,” imbuhnya.
Epi menyarankan agar masyarakat, khususnya anak-anak, dibiasakan kembali mengonsumsi produk susu dalam jumlah kecil namun rutin. Hal ini akan membantu tubuh beradaptasi dan kembali memproduksi enzim laktase secara optimal.
Dengan pendekatan edukatif dan bertahap, ia meyakini bahwa susu bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari pola makan anak-anak Indonesia, terutama dalam mendukung keberhasilan Program Makan Bergizi Gratis yang sedang digalakkan pemerintah.