Bagikan:

Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) menggelar rapat kerja nasional pada 1-2 Februari 2025. Menurut Ketua Harian Pordasi Pacu, Eddy Wijaya, salah satu fokus yang akan dilakukan adalah memperbaiki stigma pacuan kuda yang diidentikkan dengan perjudian. Selain itu, federasi akan mengoptimalkan potensi pacuan kuda tradisional di seluruh Indonesia.

***

Rapat kerja nasional ini dilakukan serentak oleh empat federasi yang bergabung di Pordasi, yaitu Pacu, Equestrian, Polo, dan Horseback Archery (berkuda memanah). Setelah Ketua Umum KONI Pusat, Marciano Norman, membuka rapat kerja serentak secara virtual, masing-masing federasi melanjutkan rapat kerja di tempat terpisah.

Pordasi-Pacu, kata Eddy Wijaya, akan mengoptimalkan potensi pacuan kuda tradisional yang sudah menjadi budaya di beberapa daerah, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. “Diharapkan dapat memasyarakatkan olahraga berkuda di seluruh Indonesia. Jadi, nantinya pacuan kuda bukan hanya diperlombakan oleh atlet dan kuda-kuda dari kaum tertentu, tetapi semua pemilik kuda lokal di daerah juga dapat ikut aktif berperan serta,” katanya.

Dampak ikutan lainnya yang diharapkan dari pacuan kuda adalah dapat memajukan UMKM setempat, mengembangkan industri olahraga, dan sekaligus menjadi daya tarik wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Selain itu, ada satu pekerjaan rumah lagi yang menurut Eddy Wijaya harus dilakukan, yaitu memperbaiki stigma pacuan kuda yang selama ini diidentikkan dengan aktivitas perjudian.

“Melalui media ini, saya perlu menegaskan kepada semua pihak bahwa tidak ada perjudian dalam perlombaan pacuan kuda yang digelar di Tanah Air. Jadi, tidak ada tempat untuk perjudian di arena lomba pacuan kuda. Kita fokus pada penyelenggaraan lomba untuk meraih prestasi,” tegasnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidianto, dan Dandi Juniar saat mampir ke kantor VOI di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Inilah petikan wawancara selengkapnya.

Ketua Harian Pordasi – Pacu Eddy Wijaya menegaskan bahwa tak ada perjudian di ajang pacuan kuda. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Ketua Harian Pordasi Pacu Eddy Wijaya menegaskan bahwa tak ada perjudian di ajang pacuan kuda. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Lomba pacuan kuda sering kali dikaitkan dengan perjudian. Apa langkah konkret yang dilakukan Pordasi Pacu untuk memutus stigma ini?

Pacuan kuda di luar negeri, seperti Hong Kong, Singapura, dan Amerika, sering dikaitkan dengan lotre atau judi. Di sana, lotre dijual secara resmi dan terbuka untuk umum. Namun, di Indonesia tidak ada pacuan kuda yang dikaitkan dengan penjualan lotre karena regulasi kita tidak memungkinkan hal tersebut.

Meski tidak ada perjudian secara terang-terangan, ada saja yang melakukannya secara personal. Dari sisi organisasi, apa upaya yang dilakukan untuk membersihkan stigma ini?

Karena tidak ada pihak yang secara resmi menyelenggarakan lotre atau perjudian dalam pacuan kuda, maka memang tidak ada unsur tersebut. Namun, jika ada individu yang melakukan taruhan secara personal, itu di luar pantauan kami. Sebenarnya, bukan hanya pacuan kuda yang mengalami hal seperti ini, tetapi juga olahraga lain seperti sepak bola, voli, dan tinju, di mana orang sering kali bertaruh saat klub atau atlet tertentu bertanding. Apalagi, dalam pertandingan satu lawan satu, praktik taruhan lebih mudah dilakukan, seperti menebak skor.

Sementara itu, pacuan kuda lebih kompleks karena dalam satu perlombaan bisa ada 10, 12, atau bahkan 14 peserta. Melalui media ini, saya perlu menegaskan kepada semua pihak bahwa tidak ada perjudian dalam perlombaan pacuan kuda yang digelar di Tanah Air. Jadi, tidak ada tempat untuk perjudian di arena pacuan kuda. Kita fokus pada penyelenggaraan lomba untuk meraih prestasi. Semoga publik bisa memahami bahwa pacuan kuda di Indonesia berbeda dengan yang ada di luar negeri. Kita tidak terkontaminasi dengan lotre atau judi.

Jika ada lomba pacuan kuda, apakah Pordasi melakukan pengawasan terhadap praktik perjudian?

Untuk persoalan ini, kami tidak bisa mengontrol sepenuhnya. Namun, yang bisa kami pastikan adalah tidak ada perjudian yang dilakukan secara terbuka, misalnya melalui internet. Jika ada praktik judi online yang mengiringi pacuan kuda di mana pun, maka Kepolisian dan Komdigi harus melakukan penindakan.

Bagaimana Pordasi Pacu mendorong masyarakat melihat olahraga ini sebagai olahraga prestasi, bukan sekadar hiburan dengan unsur negatif?

Di Pordasi Pacu, ada dua kategori perlombaan: pertama, pacu prestasi, dan kedua, pacu tradisional. Ada lima ajang lomba yang rutin digelar setiap tahun, yaitu 3 Mahkota Seri 1, 3 Mahkota Seri 2, Piala Pertiwi, serta Kejurnas Seri 1 dan Seri 2. Selain itu, masing-masing pengurus daerah juga bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengadakan perlombaan berskala nasional.

Untuk pacu tradisional, biasanya banyak digelar di daerah seperti NTT, NTB, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara, yang memang memiliki populasi kuda yang cukup banyak. Bahkan, di antara joki yang berpartisipasi dalam pacuan kuda tradisional, ada yang masih berusia anak-anak.

Apakah Pordasi memiliki kampanye untuk memasyarakatkan olahraga pacuan kuda ini?

Jika melihat PON Aceh-Sumut 2024, pacuan kuda yang diselenggarakan di Takengon, Aceh, berhasil menarik sekitar 120.000 penonton. Ini menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap olahraga berkuda sangat tinggi. Ke depan, ajang pacuan kuda bisa menjadi daya tarik wisata, baik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.

Selain itu, ini juga menjadi peluang bagi UMKM daerah untuk memasarkan produknya kepada wisatawan yang datang. Dengan begitu, roda perekonomian berputar, dan devisa negara bertambah dari wisatawan asing yang berkunjung.

Jika masyarakat menemukan ada indikasi perjudian di pacuan kuda, Ketua Harian Pordasi – Pacu Eddy Wijaya meminta masyarakat melaporkannya. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Jika masyarakat menemukan ada indikasi perjudian di pacuan kuda, Ketua Harian Pordasi Pacu Eddy Wijaya meminta masyarakat melaporkannya. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Harga kuda itu mahal dan biaya perawatannya juga tidak sedikit. Bagaimana soal ini?

Mahal dan murah itu relatif. Untuk kuda impor jenis thoroughbred yang berasal dari Inggris, harganya memang mahal. Namun, untuk kuda lokal tidak semahal itu. Pordasi memiliki nomor untuk kuda campuran, yaitu benih kuda jantan thoroughbred yang dikawinkan dengan kuda betina lokal. Yang dilombakan adalah turunan ketiga (G3) dan keempat (G4).

Pordasi kini bertransformasi menjadi empat cabang: Pordasi Pacu, Equestrian, Polo, dan Horseback Archery. Apa yang melandasi perubahan ini?

Pordasi dibentuk pada 6 Juni 1966 di Bandung. Sejak tahun 1988 sudah ada wacana untuk memisahkan Pordasi karena Ketua Umum sulit mengurus semua cabang yang ada secara bersamaan. Selain itu, induk organisasi di tingkat dunia juga berbeda-beda. Pacu memiliki organisasi sendiri, begitu juga dengan Equestrian, Polo, dan Horseback Archery.

Selama ini, Pordasi tergabung dalam FEI (Fédération Équestre Internationale), yang merupakan induk organisasi Equestrian. Padahal, dalam Pordasi juga terdapat Pacu, Polo, dan Horseback Archery. Akibatnya, ketika cabang lain ingin mendaftar dalam perhelatan internasional, mereka ditolak karena sudah masuk dalam FEI.

Akhirnya, pada tahun 2024, transformasi pun dilakukan dengan memisahkan Pordasi menjadi empat cabang yang lebih spesifik: Pordasi Pacu, Equestrian, Polo, dan Horseback Archery.

Apa dampak pemisahan ini terhadap perkembangan olahraga berkuda di Indonesia, terutama dalam menciptakan atlet berkualitas?

Dampaknya tentu positif. Dengan masing-masing federasi dikomandoi oleh ketuanya sendiri, program kerja akan lebih fokus dan terarah.

Bagaimana dengan dualisme kepemimpinan di Pordasi Pacu? Apa harapan ke depan?

Menurut saya, belum terjadi dualisme kepemimpinan di Pordasi Pacu. Yang ada hanyalah perbedaan pandangan. Sesuai arahan Pak Menpora pada Munas Pordasi XIV pada 13–15 November 2024, serta saran dari Ketua Umum KONI Pusat, rekonsiliasi menjadi solusi terbaik. Kami pun sudah bertemu dengan Mas Aryo Djojohadikusumo untuk membahas rekonsiliasi ini. Semoga semuanya berjalan lancar dan Pordasi kembali bersatu demi kemajuan olahraga berkuda di Indonesia.

Langkah selanjutnya?

Kami tinggal menunggu langkah berikutnya. Jika pucuk pimpinan sudah sepakat, selanjutnya adalah pembahasan teknis lebih lanjut.

Khusus untuk Pordasi Pacu, apa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas atlet?

Yang utama adalah melakukan sosialisasi peraturan kepada seluruh anggota dan klub yang menaungi atlet berkuda. Kami juga melakukan pembinaan atlet untuk meningkatkan prestasi. Jika diperlukan, kami akan mendatangkan pelatih dari mancanegara.

Menggelar kompetisi rutin juga menjadi cara efektif untuk mendongkrak prestasi atlet. Dengan rutin mengikuti kompetisi, kemampuan atlet dapat terukur, dan kami bisa mencari cara untuk terus meningkatkan prestasi mereka.

Apakah atlet Pordasi Pacu sudah berprestasi di ajang internasional?

Di ajang internasional, atlet kita memang belum bisa berbicara banyak karena sebagian besar kuda pacu di Indonesia berbeda ras dengan kuda yang digunakan di level internasional.

Biasanya, lomba pacuan kuda internasional menggunakan jenis thoroughbred. Sementara di Indonesia, kuda pacu kebanyakan merupakan keturunan campuran dari kuda jantan thoroughbred dengan kuda betina lokal. Turunan pertama disebut G1, turunan kedua G2, dan seterusnya.

Dengan kendala ini, upaya apa yang dilakukan Pordasi Pacu?

Saat ini, kami mengintensifkan lomba pacuan di berbagai daerah. Kami berharap ini dapat mendorong pemilik kuda untuk mengembangbiakkan kuda pacu unggul yang bisa berlaga di level nasional bahkan internasional.

Untuk jenis kuda thoroughbred, ada standar dalam perawatan dan pemberian makanan. Suhu tempat pengembangbiakannya juga harus diperhatikan. Di negara asalnya, Inggris, suhunya cenderung dingin karena iklimnya subtropis. Oleh karena itu, kami harus mencari daerah di Indonesia dengan suhu yang mendekati kondisi tersebut.

Lomba pacuan kuda juga memiliki kelas-kelas tertentu. Apa saja yang sudah diperlombakan di Indonesia?

Saat ini, lomba pacuan kuda di Indonesia mencakup jarak 800 meter hingga 2.200 meter. Karena ada beberapa tipe kuda, perlombaan pun dibagi sesuai dengan karakteristiknya. Ada kuda yang cocok untuk sprint dan ada yang lebih unggul dalam lomba endurance. Jenis kuda thoroughbred biasanya digunakan untuk kategori sprint, sedangkan kuda jenis Arab, yang terkenal kuat, lebih sering digunakan dalam lomba endurance.

Apa harapan federasi kepada pemerintah dalam meningkatkan prestasi atlet kuda pacu Indonesia?

Kami berharap pemerintah mendukung agenda lomba pacuan kuda yang kami gelar. Saat ini, kami telah menjalin kerja sama dengan beberapa pemerintah daerah.

Sebagai contoh, Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah mendukung gelaran lomba pacuan kuda Piala Raja. Beberapa daerah lain juga telah menjalin kerja sama serupa.

Apa yang dilakukan federasi untuk melibatkan komunitas olahraga berkuda?

Kami merangkul pemilik stable agar mereka mengikutsertakan kuda dan joki yang tergabung dalam komunitas mereka. Dalam setiap perlombaan, ada hadiah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kehidupan para atlet.

Dengan semakin seringnya perlombaan digelar, kami berharap masyarakat semakin tertarik dengan olahraga berkuda. Selain itu, ajang ini juga bisa menumbuhkan serta menggerakkan ekonomi kreatif di balik setiap pergelaran yang diselenggarakan.

 

Eddy Wijaya, Antara Siniar, Film, dan Yayasan

Di luar aktivitas utama sebagai profesional dan pengurus organisasi, Eddy Wijaya juga punya acara siniar bertajuk EdSharon. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Di luar aktivitas utama sebagai profesional dan pengurus organisasi, Eddy Wijaya juga punya acara siniar bertajuk EdShareOn. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Sudah lebih dari setahun Eddy Wijaya menjalankan acara siniar alias podcast. Nama acaranya EdShareOn; Eddy Sharing and Education. Beragam tokoh politik, politisi, dan pakar dari berbagai bidang sudah dihadirkan sebagai narasumber. Selain memandu acara siniar, ternyata ia juga pernah menjadi produser film dan mengelola sebuah yayasan.

Apa Tujuannya Membuat Acara EdShareOn? “Saya memulai podcast ini pada September 2023. Sudah banyak tokoh dari beragam profesi yang hadir sebagai tamu saya. Tamu pertama saya Pak Agum Gumelar. Lalu mantan Menkes Siti Fadilah Supari, mantan Menpora dan Menteri Perumahan Rakyat era Presiden Soeharto Hayono Isman, mantan Menteri Agama Fachrul Razi, Jenderal (Purn) Andika Perkasa, dan masih banyak tokoh lainnya,” kata pria kelahiran 17 Agustus 1972 ini.

Saat heboh soal putusan Mahkamah Konstitusi tentang usia calon Presiden dan Wakil Presiden, ia juga melakukan wawancara dengan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. “Saat itu saya dan tim melakukan wawancara dengan Prof. Jimly. Sebagai seorang pakar hukum tata negara dan mantan Ketua MK, dia menjelaskan secara detail duduk persoalan yang sedang diperbincangkan publik dan diberitakan berbagai media,” ujarnya.

Menjadi seorang pemandu acara siniar membuat Eddy Wijaya banyak belajar sebelum melakukan wawancara dengan narasumbernya. “Saya harus mempelajari dengan teliti seputar tema yang akan diangkat, sehingga bisa berdiskusi dengan narasumber saya. Dan yang saya suka, saya bisa mendapat banyak masukan dan pengalaman setelah melakukan wawancara dengan narasumber yang berlatar belakang beragam,” papar Eddy yang suka berolahraga untuk menjaga kebugaran dan elastisitas tubuh.

Menjadi Produser Film

Ternyata Eddy Wijaya juga pernah terlibat dalam pembuatan film layar lebar bertajuk Kalam-kalam Langit sebagai eksekutif produser, dari situ ia tahu jaringan bioskop belum berpihak pada film daerah. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Ternyata Eddy Wijaya juga pernah terlibat dalam pembuatan film layar lebar bertajuk Kalam-kalam Langit sebagai eksekutif produser, dari situ ia tahu jaringan bioskop belum berpihak pada film daerah. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Dunia sinematografi ternyata sudah lama menarik perhatian Eddy Wijaya. Memang ia bukan tampil sebagai aktor atau sutradara, tetapi ia terlibat sebagai eksekutif produser film berjudul Kalam-kalam Langit yang diproduksi pada 2016 silam.

“Tahun 2016 kami memproduksi film drama religi yang lokasi syutingnya di Lombok, NTB. Kami bekerja sama dengan Pondok Pesantren Al-Aziziah Mataram, Lombok. Lewat film ini juga kami membantu mempromosikan daerah wisata yang ada di NTB,” terangnya.

Sayangnya, film yang dibintangi oleh Dimas Seto, Meriza Febriani, Elyzia Mulachela, Mathias Muchus, Ibnu Jamil, Henidar Amroe, dan bintang-bintang lainnya itu tidak mendapatkan banyak kesempatan tayang di jaringan bioskop di Indonesia. “Setelah film itu selesai dan premier di Mataram, Lombok, kesempatan tayangnya di bioskop seantero Indonesia sangat sedikit,” ungkap Eddy yang juga aktif mengikuti kelas yoga.

Dari kasus ini, Eddy Wijaya makin paham kalau keberpihakan jaringan bioskop besar terhadap film yang berasal dari daerah masih kurang. “Ini adalah bukti yang kami alami sendiri bahwa keberpihakan studio film dan jaringan bioskop besar terhadap film lokal masih sangat kurang. Mereka masih memprioritaskan film yang disukai kebanyakan penonton,” terangnya, seraya menambahkan bahwa film bergenre horor dan komedi paling banyak diminati penonton.

Sementara itu, film yang mereka produksi lebih menekankan edukasi serta promosi budaya dan pariwisata lokal. “Film dengan muatan komedi dan unsur horor lebih menarik, ini sudah terbukti sekarang,” lanjut Eddy, yang tak henti memberi motivasi kepada banyak pihak untuk terus berusaha agar sukses, karena sukses adalah masalah waktu yang tertunda.

 

Yayasan Wijaya Peduli Bangsa

Pacu Eddy Wijaya juga memiliki yayasan Wijaya Peduli Bangsa yang bergerak dalam bidang sosial dan memberikan santunan pada mereka yang kekurangan. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Pacu Eddy Wijaya juga memiliki yayasan Wijaya Peduli Bangsa yang bergerak dalam bidang sosial dan memberikan santunan pada mereka yang kekurangan. (Foto Bambang Eros, DI; Raga Granada - VOI)

Ketimpangan yang disaksikannya di banyak tempat membuat Eddy Wijaya tergerak mendirikan Yayasan Wijaya Peduli Bangsa. “Yayasan ini baru saya bentuk pada Maret 2024. Aktivitas pertamanya di daerah Bantar Gebang, Bekasi. Setelah itu, kegiatan kami lakukan di beberapa daerah,” ungkapnya.

Diakui Eddy, sejak kecil ia memang amat mudah iba saat melihat orang yang kekurangan. “Saya sejak kecil cepat tergugah melihat orang yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Padahal saat itu kondisi ekonomi saya dan keluarga biasa-biasa saja. Ya akhirnya membantu semampu saya,” lanjut Eddy yang rutin pijat tradisional untuk melancarkan peredaran darah.

Awalnya, Eddy tak mau mengabarkan kepada orang soal apa yang ia lakukan. “Saya berpikir bahwa apa yang sudah saya kerjakan cukup saya dan Tuhan saja yang mengetahuinya. Namun lama-lama teman menyarankan bahwa tak ada salahnya jika kebaikan itu disiarkan agar bisa menjadi contoh bagi orang lain dan menjadi motivasi bagi mereka untuk melakukan hal serupa. Jadi bukan untuk pamer,” tukas pria yang berusaha menjaga kesehatan mental agar tidak mengalami stres.

Dengan melakukan bansos di berbagai daerah, ia malah menemukan hal-hal unik yang juga bikin prihatin. “Saat baksos di daerah Pademangan, Jakarta, saya sempat ngobrol dengan anak kelas IV SD. Ternyata dia belum bisa membaca. Saya kaget, kelas IV SD kok tak bisa membaca, apa yang terjadi? Mestinya ini menjadi perhatian serius pemerintah dan instansi terkait,” tandas Eddy Wijaya.

"Melalui media ini, saya perlu menegaskan kepada semua pihak bahwa tidak ada perjudian dalam perlombaan pacuan kuda yang digelar di tanah air. Jadi tidak ada tempat untuk perjudian di arena lomba pacuan kuda. Kita fokus pada penyelenggaraan lomba untuk meraih prestasi,"

Eddy Wijaya