Partager:

JAKARTA – Persaingan merupakan faktor penting dalam dunia industri. Tanpa persaingan yang sehat, perkembangan pasar menjadi hal yang mustahil.

Lebih dari itu, persaingan yang tidak sehat rentan melahirkan oligopoli.

Fenomena yang sama terjadi juga dalam industri otomotif. Belakangan, sejumlah dealer otomotif menyuarakan keberatan mereka pada perjanjian eksklusivitas yang diterapkan Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM).

Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Aru Amando menegaskan, pihaknya akan menelaah lebih lanjut aturan yang dianggap menimbulkan oligopoli tersebut.

“KPPU akan sangat terburu-buru kalau mengatakan ini salah, ini benar, tanpa melihat isi di dalam perjanjiannya itu seperti apa. Kita harus lihat dulu perjanjiannya,” ujar Aru Amando dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 11 Desember.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, peran KPPU sangat penting dalam menjaga iklim industri yang sehat dan kompetitif.

Maka, menurutnya, langkah-langkah strategis perlu diambil untuk mendobrak praktik oligopoli yang saat ini menghambat perkembangan pemain baru dalam industri otomotif.

"Supaya kompetitif ya. Pertama agar investasi di sektor otomotif jauh lebih banyak, pabrikan lebih banyak. Hambatan-hambatan untuk investasi di bidang otomotif harus diperluas,” ujar Tauhid.

Hal yang sama diungkapkan Dosen FEB Universitas Indonesia Mone Stepanus.

Dia menyoroti dampak perjanjian eksklusivitas bagi pasar dan industri secara keseluruhan.

Salah satu risiko terbesarnya adalah tertutupnya peluang investasi baru.

"Praktik ini menyebabkan stagnasi dalam inovasi produk, serta memperkecil daya saing industri otomotif Indonesia di kancah internasional," katanya.

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto, menganggap asosiasinya tidak punya wewenang untuk ikut membahas isu tersebut. “Isu yang berkaitan dengan strategi bisnis masing-masing ATPM, termasuk perjanjian eksklusivitas yang mereka terapkan dengan jaringan dealer, di luar lingkup kami,” ungkapnya.

Secara regulasi, dikatakan dia, perjanjian ekslusivitas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Khususnya, pasal 19 poin (a) dan (d). Di sana tertulis bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan oligopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Tindakan itu, lanjutnya, berupa menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan atau melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Konsultan Hukum Persaingan Usaha sekaligus pendiri Iwant & Co Antimonopoly Counselor, Sutrisno Iwantono mengatakan, perlunya campur tangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam polemik perjanjian eksklusivitas.

Namun sayangnya, menurut dia, KPPU selalu kurang responsif terhadap perubahan dinamika pasar yang cepat.

"Kondisi ini menyebabkan mereka sering terlambat dalam mengatasi masalah. Ini tentu membuat penanggulangannya menjadi lebih sulit,” ujar Sutrisno.

Dia mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk berani bersuara. Menurut dia, tanpa adanya laporan dari para korban, KPPU akan kesulitan untuk mengidentifikasi kasus dan mengambil tindakan.

"Jika dealer merasa dirugikan, mereka seharusnya tidak ragu untuk melapor. Ini bukan hanya soal etika, tetapi juga tentang keadilan,” tegasnya.

Menanggapi hal itu, Direktur Marketing PT Toyota Astra Motor (TAM) Anton Jimmy Suwandi enggan memberikan komentar.

Sementara itu, Direktur Marketing PT Suzuki Indomobil Sales Donny Saputra membantah adanya perjanjian eksklusivitas atau klausul yang mengarah pada oligopoli antara ATPM dengan distributor. Faktanya tidak ada dealer yang hanya menjual satu merek saja.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)