Partager:

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan berdasarkan data dari 10 bank sejak 2022 sampai kuartal I 2024 kerugian konsumen akibat scam and fraud mencapai Rp2,5 triliun.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menyampaikan, teknologi digital memberikan peluang besar bagi banyak orang untuk memulai usaha dan meraih peluang bisnis.

Meski demikian, Friderica atau akrab disapa Kiki menilai, di balik peluang tersebut, terdapat risiko yang signifikan lantaran konsumen kini telah dibuka aksesnya ke dunia digital yang penuh risiko, dan jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang baik tentang potensi bahaya, hal ini bisa menimbulkan berbagai permasalahan.

"Saya selalu mengistilahkan konsumen kita sudah dibukakan portal masuk ke dunia lain, yang kalau kita tidak equit dengan kemampuan mereka untuk memahami resikonya dan sebagainya. Itu banyak sekali kemudian menimbulkan banyak permasalahan," ujarnya.

Friderica menyebutkan bahwa OJK telah menerima laporan terkait scam dan fraud dari konsumen dan berdasarkan data dari sepuluh bank sejak tahun 2022 hingga kuartal pertama 2024, kerugian yang dialami konsumen akibat tindak penipuan mencapai Rp2,5 triliun, yang berasal dari sekitar 155 ribu aduan.

"Dari tahun 2022 sampai dengan triwulan 1 2024, jumlah kerugian yang diderita oleh konsumen adalah 2,5 triliun rupiah. Ini uang hilang ya, karena mereka mungkin secara gak sengaja, secara gak sadar memberikan password OTP-nya. Itu adalah 2,5 triliun dari sekitar 155 ribu aduan yang masuk," tuturnya.

Menurut Kiki korban yang terkena scam and fraud ketika diminta kode One Time Password (OTP) yang berasal dari layanan perbankan sehingga uang, data pribadi korban dimanfaatkan oleh pelaku penipuan.

Kiki mengatakan, penipuan yang merugikan itu bukan hanya mengancam orang-orang berpendidikan rendah, tetapi banyak korban dari latar belakang pejabat dan mantan pejabat.

Bahkan, dia mengaku juga pernah mendapatkan upaya penipuan.

Kiki menyadari bahwa jumlah laporan ini kemungkinan lebih besar, mengingat banyak orang yang menjadi korban tetapi tidak melaporkannya, karena malu atau tidak sadar telah ditipu.

"Mungkin kalau Bapak-Ibu di ruang ini kena scam dan fraud, mungkin malu juga ya untuk melaporkan. Karena saya sendiri sudah pernah kena juga gitu. Tapi kemudian ketika dari bank nih, banknya Pak Rony waktu itu telepon, Bapak-Ibu, laporannya seperti apa? Wah udahlah, udahlah, masa ADK OJK kena scam dan fraud? Karena waktu itu saya ditawarin untuk charity oleh teman yang ternyata itu di-hack juga," jelasnya.

Kiki menjelaskan fenomena tingginya pengaduan konsumen, terutama terkait scam dan fraud, serta maraknya entitas keuangan ilegal, juga menjadi perhatian. Kerugian yang ditimbulkan oleh entitas ilegal ini diperkirakan melebihi Rp150 triliun.

Kiki menegaskan bahwa jika dana tersebut masuk ke sektor formal, tentunya akan menggerakkan perekonomian, tetapi karena mengalir ke sektor ilegal, hal ini justru merugikan konsumen dan masyarakat secara luas.

Selain itu, Kiki menjelaskan bahwa peningkatan kasus penipuan diikuti dengan lonjakan jumlah pengaduan dari konsumen dan masyarakat.

Berdasarkan data dari 1 Januari 2020 hingga 30 November 2024, tercatat 31.018 pengaduan yang berindikasi sengketa dan 1.890 pengaduan yang menunjukkan indikasi pelanggaran.

Kiki juga menyebutkan adanya kesenjangan dalam indeks literasi dan inklusi keuangan. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bersama OJK, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia tercatat sebesar 65,43 persen pada tahun 2024, sementara indeks inklusi keuangannya mencapai 75,02 persen.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)