Partager:

JAKARTA - Aksi perundungan disertai penganiayaan diduga terjadi di sekolah MTS kawasan Cipinang, Jakarta Timur (Jaktim). Korbannya pelajar ARB (13), diduga dinjak-injak temannya A (13), hingga mengalami gangguan pada saraf otak.

Ubaidillah (51), selaku ayah korban menceritakan kejadian itu terjadi di sekolah anaknya saat jam istirahat sekolah pada Senin, 20 Februari.

Saat itu ARB yang baru saja memotong rambutnya menjadi nyaris botak mendapat perundungan atau bullying sejumlah teman-temannya di sekolah. Mereka juga mengeplak kepala ARB.

“Ada moment anak saya membalas, justru anak saya mendapatkan kekerasan lebih parah lagi oleh temannya yang berinsial A,” kata Ubaidillah saat dikonfirmasi, Jumat, 7 April.

Ternyata aksi perundungan itu berlanjut. Saat sekolah memasuki jam istirahat, ARB di bawa ke ruang kelas yang kosong oleh teman-temannya.

“Jadi anak saya dibawa ke kelas yang kosong. Terus temannya sekitar 15 orang ngelilingi dan ada yang jaga pintu sekolah agar engga keliatan guru-guru,” ucap Ubaidillah.

“Anak saya dipukul, ditendang bahkan sampai terjatuh. Terus dinjak-injak berkali-kali,” sambungnya.

Lebih anjut, menurut penuturan Ubaidillah, anaknya ARB tidak melaporkan peristiwa kekerasan itu ke guru-gurunya. Lantaran takut jika mereka yang membully mengetahui hal itu.

“Kayanya kena mental,” ungkapnya.

Saat jam sekolah berakhir, ARB pulang ke rumah dengan kondisi seragamnya kotor.

Ibunda korban yang melibat kondisi baju ARB menaruh curiga. ARB pun diajak berkomunikasi soal kondisi bajunya dengan sang ibu.

“Akhirnya anak saya cerita dia dinjek-injek. Akhirnya ibunya telpon dari orang tua pelaku A. Orang tua pelaku A, membenarkan, dia kaya ngerasa tidak bersalah,” ucap Ubaidillah.

“Akan tetapi kita besepakat untuk tidak melapor sekolah, ternyata sepengetahuan kita, orang tua A justru melapor. Entar biar aman atau apa,” tambahnya.

Ubadillah yang mendapati adanya laporan itu berharap pihak sekolah bergerak lantaran telah mengetahui terjadi perundungan disertai penganiyaan melibatkan siswanya.

Sembari menunggu sikap dari pemerintah, Ubadillah membawa anaknya ke puskesmas terdekat guna mengecek kondisi kesehatan terkini ARB. Di puskesmaslah Ubadillah diberi informasi agar peristiwa yang dialami anaknya dilaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

“Setalah 4 hari, engga tindakan, saya ke puskesmas. Puskesmas memberikan perawatan, anak saya ada gejala struk dan gangguan syaraf. Terus dikasih juga surat rekomendasi untuk lapor ke P2TP2A,” ujarnya.

Di momen itu kabar dari sekolah ARB datang lewat sepucuk surat rekomendasi yang isinya pihak sekolah berkeinginan untuk memediasi kedua belah pihak dalam kasus perundungan berujung penganiayaan ini.

“Tapi dalam mediasi itu justru, saya merasa dipojokkan. Dia malah mojokin saya. ‘Kenapa puskesmas tidak laporan ke saya (sekolah)’,” ucap Ubadillah.

“Saya bilang ‘anak saya sakit, kalau darurat, dan memang tidak ada aturan kalau sakit laporan dulu. Terus dia bikang puskesmas tidak kapasitas untuk mengeluarkan (surat rekomendasi) itu,” sambungnya.

Dalam perjalanan mediasi, Ubadillah mengaku pihak sekolah menyodorkan sejumlah amplop yang diduga berisi uang. Namun, Ubadillah menolak

“Dia (sekolah) menyerahkan amplop yang berisi uang. Tapi saya tolak amplop itu,” ucapnya.

Merasa kecewa dengan tindakan pihak sekolah, Ubadillah mengajuan perlindungan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

“Pada waktu itu saya hanya ingin KPAI memfasilitasi keluhan dan rasa ketikadilan kami terhadap sekolah. Kita merasa pihak sekolah tidak sungguh dalam menangqni kasus anak saya,” ujarnya.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)